Wednesday, March 5, 2008
Pilgub Kaltim Disosialisasikan
"Desk Pilkada merupakan suatu wadah sebagai bentuk dukungan pemerintah daerah, dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, dalam fasilitasi permasalahan, koordinasi, dan pengendalian pelaksanaan pemilihan," tegas Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kukar Drs H Samsuri Aspar MM, saat membuka sosialisasi Pilgub Kaltim di Pendopo Wakil Bupati di Jl Wolter Monginsidi Tenggarong, kemarin.
Melalui kegiatan ini diharapkan mampu menciptakan proses serta membangun dukungan masyarakat agar penyelenggaraan PILKADA dapat terlaksana dengan baik. Dengan sosialiasi ini tentu saja diharapkan akan membuka wawasan serta memperdalam pemahaman para pihak dan masyarakat pada umumnya mengenai proses maupun tahapan penyelenggaraan Pilgub dan Wagub yang direncanakan dilaksanakan Mei 2008 mendatang.
"Kita semua tentu berharap agar pelaksanaan Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur 2008 ini akan berjalan lancar dan sukses," katanya.
Ini semua tentu tidak akan terlepas dari upaya serta kerja keras seluruh pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perhelatan demokrasi lokal ini, disamping dukungan seluruh lapisan masyarakat untuk tetap menjaga situasi ketenteraman dan ketertiban sepanjang tahapan Pilkada.
Samsuri berharap agar sosialiasi ini hendaknya tidak hanya terbatas pada kegiatan di dalam ruangan. Namun dapat pula menggunakan media informasi yang ada dan telah akrab dengan masyarakat pada umumnya. Media massa seperti surat kabar, baliho, spanduk, radio, bahkan televisi mungkin dapat dimanfaatkan untuk mensosialisasikan seluruh tahapan Pilkada hingga hari-H dan pasca pemungutan suara.
Dengan demikian sosialisasi menjadi lebih efektif dan informasi yang dapat diserap publik lebih lengkap dan tentu saja dapat mencapai skala yang lebih luas. Sosialisasi ini diikuti para kepala instansi camat se-Kukar, LSM serta Panwasda. Sedangkan materi disampaikan mengenai pengarahan Ketua Desk Pilkada Provinsi Kaltim ,Kesiapan pengamanan Pilkada dari Kapolda Kaltim, masalah hukum terkait Desk Pilkada oleh Biro Hukum Setprov Kaltim serta masalah sekretariat Desk Pilkada, oleh Sekretaris Tim Desk Kaltim Ir HM Nurdin MT
Tuesday, October 2, 2007
Polisi Usut Sweeping FPI di Samarinda
SAMARINDA, TRIBUN- Poltabes Samarinda terus mengusut tindakan sweeping yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), Sabtu (29/9) dinihari lalu. Polisi sudah mendapat laporan seorang warga yang terjaring sweeping tersebut.
Menurut Kasat Reskrim Poltabes Samarinda, Kompol Novi Irawan SIK, pihaknya sedang mendalami laporan itu, yakni terkait unsur pidana pengeroyokan oleh oknum anggota FPI. "Polisi sudah mengantongi nama pelaku. Sekarang kami sedang mencari yang bersangkutan untuk dimintai keterangan," ujar Novi, Minggu (30/9) siang.
Ia menjelaskan, pria berinisial JY itu dikenali oleh korban pengeroyokan saat FPI sweeping. Novi mengaku telah menelusuri tempat tinggal pelaku namun sejauh ini belum menemukannya.
Selain JY, kata Novi, kemungkinan masih ada pelaku lain yang tidak dikenali korban.
Kabag Operasional Poltabes Samarinda, Kompol Robert SP SIK mengatakan, peristiwa pengeroyokan di Samarinda Seberang sebenarnya tidak termasuk dalam agenda aksi konvoi FPI malam itu. "Kami hanya mendapat pemberitahuan dari FPI, mereka akan melakukan konvoi keliling Kota Samarinda. Isi pemberitahuan cuma konvoi. Tidak ada yang lain," ujarnya.
Karena itu, Robert menurunkan sekitar 400 pesrsonil untuk membantu pengawalan aksi damai tersebut. Namun setelah 2 jam melakukan konvoi, polisi kata Robert tak mengira sebagian anggota FPI akan melakukan sweeping di Samarinda Seberang karena mereka kembali ke tempat semula, Masjid Darun Nikmah Karang Asam. "Sebagian dari mereka sudah pulang, karena itu anggota juga kembali ke Mapoltabes," ujarnya.
Robert mengatakan, Poltabes Samarinda akan melakukan tindakan sesuai dengan undang-undang pidana.
Ketua Laskar FPI Kaltim, Habib Fauzi yang dikonfirmasi mengatakan, sweeping di Samarinda Seberang tidak masuk dalam agenda. Malam itu FPI hanya menggelar konvoi damai. "Tujuannya cuma konvoi saja. Kita tidak tahu persoalan pemukulan itu," ujarnya. Jika hal tersebut terjadi Habib Fauzi mengatakan itu hanya ulah segelintir oknum FPI, tidak mengatasnamakan FPI secara kelembagaan. Tidak Boleh
Pengurus Wilayah GP Ansor Kaltim menyayangkan aksi sweeping Front Pembela Islam (FPI) Kaltim, Sabtu (29/9) kemarin, hingga menyebabkan Kapolsek Seberang AKP Arif Budiman SIK terluka.
"Kita ini ada aturan hukum, tidak lantas ada ormas atau OKP yang lalu mengambil langkah- langkah sendiri tanpa memperdulikan hukum yang telah berlaku. Itu namanya main hakim sendiri," kata Syaparudin J, ketua PW GP Ansor Kaltim kepada Tribun, Minggu (30/9).
Menurut dia, jika berbentuk anarkhis maka aparat kepolisian berhak melakukan tindakan tegas dan tidak membiarkan aksi-aksi tersebut dilakukan sehingga mengganggu stabilitas keamanan kota Samarinda pada khususnya.
"Polisi kami yakin tahu yang mana bentuknya anarkhis, mana yang tidak. Apalagi sampai ada yang terluka. Polisi berhak untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap aksi yang tidak dibenarkan itu," jelasnya.
Muhammadiyah Menyayangkan
Pimpinan Wilayah (PW) Pemuda Muhammadiyah Kaltim juga menyayangkan aksi itu. Menurut Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Kaltim Ahmad Aznem, seharusnya sweeping tak dilakukan oleh ormas tersebut. "Kami di Pemuda Muhammadiyah pun begitu, jika menemukan kejanggalan atau sesuatu temuan serahkan kepada polisi. Biar aparat kepolisian yang bertindak," kata Aznem, Minggu (30/9).
Meski demikian Aznem memandang, konvoi damai yang berujung pada pemukulan hingga mengakibatkan sejumlah warga dan Kapolsek Samarinda Seberang terluka itu sebagai bentuk kekecewaan FPI terhadap kinerja aparat. Semestinya, hal ini bisa dicegah jika saja aparat telah lebih dulu mengantisipai dan mawas diri.
"Kenapa FPI turun? Itu mungkin karena aparat kurang sigap, dan dipandang kurang proaktif. Dalam hal ini saya menilai kerja aparat lamban, karena terbukti ada ormas Islam yang harus turun menertibkan kota di bulan puasa ini. Kenapa setelah FPI turun, aparat baru turun?" tanya Aznem.
Pada Ramadan 1428 H ini, PW Pemuda Muhammadiyah Kaltim menyerukan pesan-pesan perubahan dan pembebasan kepada seluruh umat Islam. Di antaranya mengajak masyarakat Kaltim untuk menahan diri, mengendalikan emosi dan menjalankan hak dan kewajiban hidupnya namun tidak harus mengganggu hak dan kewajiban hidup orang lain.
Tugas Aparat
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Kaltim Farid Wadjdy berharap jika ada ormas yang akan turun ke jalan, terkait pengamanan di bulan Ramadan bisa meminta pengawalan dari kepolisian.
"Jika ada tindakan main hakim sendiri aparat harus bertindak untuk lebih responsif. Dan bagi ormas yang turun ke jalan dan sudah meminta pengawalan dari kepolisian maka yang melakukan tindakan di lapangan hanya dari aparat," ujar Farid, Minggu (30/9).
Sebelumnya, Kanwil Depag Kaltim telah menegaskan, tindakan anarkhis yang dilakukan akan sangat bertentangan dengan bulan Ramadan, yang seharusnya dijalankan dalam suasana kondusif.
Sunday, September 2, 2007
Usai Lantik 2 PC Ansor Di Kaltim, Gus Ipul Kunjungi Veteran Perang
Kaltim, [GP-Ansor] : Ketua umum Gerakan Pemuda [GP] Ansor Saifullah Yusuf melantikan dua pengurus Pimpinan Cabang [PC] Ansor baru, yakni PC Ansor Kota Balikpapan dan PC Ansor Kota Penajam Pasir Utara. Pelantikan tersebut langsung dilanjutkan dengan Rakercab Ansor Kota Balik Papan. “Saya minta kader Ansor lebih peka kepada persoalan perut rakyat. Masalahnya saat ini rakyat makin sulit dan sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,”
Demikian dikatakan Gus Ipul-panggilan akrab Saiful usai membuka rakercab tersebut di Balikpapan, Kalimantan Timur, 25 Agustus 2007. Ditambahkannya, kesulitan rakyat makin menjadi jadi karena sejumlah bahan pokok terus naik, misalnya minyak goreng yang sempat turun kemudian naik. Ditambah lagi dengan langkanya minyak tanah,”ujarnya yang datang bersama Sekjen Ansor Malik Haramain dan Wakil Sekjen Ansor Mukthar Hadyu.
Dalam acara tersebut Gus Ipul menyempatkan diri mengunjungi dan sekaligus bersilaturahmi dengan para veteran perang yang umumnya sudah usia lanjut. Bahkan melalui Gus Ipul, Ansor memberikan perhatiannya dengan memberi sumbangan minyak goreng dan beras sebanyak 800 Kg, serta bantuan dana. “Jangan dilihat nominal bantuannya, tapi ini sebagai ujud kepekaan Ansor terhadap rakyat,”terangnya.
Yang jelas, kata Gus Ipul, Ansor takkan pernah melupakan jasa-jasa para veteran yang telah memberikan tenaganya untuk mempertahankan NKRI dari berbagai ancaman dan rongrongan. “Ansor sangat menghargai veteran,”imbuhnya. [eko] (dari www.gp-ansor.or.id)
Monday, May 21, 2007
Ansor dan Semangat Kabangsaan
Hari ini
Menguatnya semangat kedaerahan, kesukuan, dan eksluvitas beragama, menurut saya adalah wujud dari perlawanan terhadap gerakan politisasi atas nilai-nilai kebangsaan yang tidak bersumber pada kejujuran dan keadilan dalam hal penghargaan atas pluralitas-kebhenika-an dalam pengelolaan dan pengaturan seluruh sumber-sumber ekonomi dan politik kenegaraan selama kurun 60 an tahun negeri ini. Pengelaolaan negara dengan cara yang monolitik, hegemonik, dan centralistik tersebut telah mendistorsi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dari watak yang demikianlah sesungguhnya cikal-bakal menguatnya semangat kedaerahan disemua daerah dan apabila hal tersebut tidak diantisipasi secara arif dan bijaksanan tentu dapat mengancam masa depan
Esensi hidup adalah kebersamaan, maksudnya adalah kebersamaan yang dilandasi oleh semangat kebangsaan dan kemanusiaan, dan semangat tersebut meniscayakan adanya saling harga mengahargai antara satu dengan yang lainnya dengan tidak membedakan suku, daerah, bahasa dan agama. Dari sinilah kemudian kita baru mulai menata berbagai regulasi kekuasaan, mulai membangun watak kebangsaan dan terbangunnya relasi bangsa-negara (nation state) secara kuat, serta dari sini pulalah kemudian diharapkan tumbuhnya kearifan-kearifan lokal untuk membangun cita-cita nasional.
Tuesday, May 8, 2007
Islam dan Gerakan Pemberantasan Korupsi
Oleh : Syaparudin. J, S.Sos
Ketua Umum PW.GP. ANSOR Kaltim
Namun demikian sangat patut diperhatikan bahwa realitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara keseluruhan menunjukkan prestasi yang sangat mengecewakan. Semarak kehidupan beragama seperti digambarkan diatas terbukti kurang memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas akhlak dan moralitas ummat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga mutu kehidupan bangsa tak kunjung membaik, bahkan ada tanda-tanda semakin menurun. Pada ranah sosial kemasyarakatan telah terjadi berbagai penyakit sosial yang kian membuat kita miris. Pengangguran di mana-mana, kriminalitas merajalela, solidaritas dan nilai-nilai persaudaraan makin menipis, kekerasan dan konflik antar kelompok makin sering terjadi, dan yang amat gawat perilaku mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain telah menjangkiti masyarakat luas.
Dalam bidang pengelolaan pembangunan dan sumberdaya negara juga terjadi hal yang tidak kalah buruknya. Disamping pengambilan keputusan yang sering tidak tepat, salah urus dan inefisiensi dengan tingkat rata-rata 30 % dihampir semua sektor, Indonesia terus menduduki peringkat teratas di Asia dan ketiga di dunia dalam bidang korupsi. Hampir semua orang sepakat bahwa krisis multidimensi yang melanda
Islam dalam pengertiannya yang kaffah, disamping mengatur hubungan manusia dengan Allah, juga memberikan dasar-dasar etika dan moral antara hubungan manusia dengan sesama dalam kehidupan kemasyarakatan, ekonomi dan politik termasuk prinsip-prinsip pengelolaan lembaga politik dan kekuasaan yang bernama negara (al-daulah). Berkaitan dengan fenomena maraknya korupsi, kita bisa melihat prinsip-prinsip moral / keagamaan prihal “ keuangan negara (publik)”, konsep harta halal dan haram dan ajaran tentang etika (al-akhlak al karimah) yang telah diajarakan oleh Islam.
Islam menegaskan bahwa pada hakikatnya uang dan harta negara (publik) adalah uang dan harta Allah yang diamanatkan kepada pemerintah, bukan untuk penguasa dan para pejabat, melainkan untuk di-tasharruf-kan (dipersembahkan) bagi sebesar-besarnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi atas dasar apapun. Setiap dzarrah dari uang dan kekayaan negara harus dipertanggung-jawabkan dihadapan Allah (dihari akhirat nanti) dan dipertanggung-jawabkan didepan rakyat banyak (didunia).
Sesuai petunjuk Islam uang dan harta negara haruslah di tasharrufkan (dipersembahkan) sejujur-jujurnya dengan cara setepat-tepatnya agar mampu mewujudkan kemaslahatan bagi segenap rakyat. Untuk itu, selain mengacu kepada konsep keadilan (al-adalah), pentasharruf-an ini juga memperhatikan sebenar-benarnya prioritas kepada kaum lemah, orang kecil dan kaum fakir miskin (al-duafa wal mustad afin).
Melihat ketentuan Allah diatas, kejahatan korupsi merupakan pengingkaran terhadap ajaran Allah. Oleh karena itu, merupakan kewajiban seluruh rakyat, baik masyarakat, penguasa, pejabat publik, para cerdik cendekia serta para ulama untuk melakukan kontrol sosial (amar ma’ruf nahi munkar) terus menerus disemua tingkatan dari desa hingga pemerintahan pusat, agar tidak satu sen pun dari harta dan kekayaan negara sebagai milik Allah itu diselewengkan untuk kepentingan pribadi penguasa, pejabat dan kroninya, atau disalah-gunakan untuk hal-hal yang merugikan rakyat dan melawan tuntutan kemaslahatan dan keadilan bersama, serta pelanggaran atas syariat Allah.
Amar ma’ruf nahi munkar ini mesti dimulai semenjak penetapan keputusan-keputusan menyangkut penggunaan uang negara, seperti penyusunan APBD dan APBN, agar pentasharrufan-nya betul-betul sesuai dengan azas kemaslahatan bagi semua dan memprioritaskan nasib rakyat bawah. Selanjutnya, ikhtiar ini perlu dilakukan terus-menerus pada fase pelaksanaan sehingga tidak ada satu lobangpun kesempatan bagi para koruptor melaksanakan niatnya. Selain itu, bangsa kita berkewajiban mengingatkan (tawasshawbilhaq) para penegak hukum atas amanat yang dibebankan kepada mereka serta memberikan dukungan untuk bertindak tegas terhadap para penjarah uang negara dan pengkhianat amanat rakyat.
Disisi lain, agama memerintakan kepada kita agar hanya memakan dan memakai harta yang halal. Islam menyuruh kita untuk mencari rezeki yang halal dan menjauhkan diri dari rezeki yang haram. Kehalalan dan ke haraman rezeki bukan hanya ditentukan oleh dzatnya melainkan juga oleh bagaimana kita memperolehnya. Contoh : Daging babi dan minuman keras haram karena dzatnya, daging ayam dari sari kelapa curian haram karena cara memperolehnya tidak dibenarkan oleh agama.
Kehalalan dan keharaman dari segi cara mendapatkan ini terkait dengan prinsip islam dalam penjaminan hak milik yang sah bagi seseorang atau suatu lembaga, tidak bisa berubah menjadi milik orang atau lembaga lain kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan agama (bi-al Thuruq al-masyru^ah).
Perpindahan hak miliki bisa dibenarkan agama jika melalui proses transaksi yang syar’i, baik bersifat muawadlah (imbal balik) seperti jual beli, aqad sewa,hutang piutang, tukar menukar dan sebagainya, maupun yang bersifat tabarru’ (pemberian tanpa imbalan) seperti hibah, hadiah, sadaqah, wakaf, infaq, wasiat dan sejenisnya. Cara halal yang lain adalah melalui penggantian orang dari orang, yaitu pewarisan, penggantian barang dari barang yakni penggantian kerugian berupa barang atau uang atas tindak kejahatan atau pelanggaran pidana atau perdata.
Perpindahan kepemilikan tidak sah jika dilakukan melalui cara-cara antara lain mencuri, merampok, menipu, mengutil, menggelapkan, riba, suap dan segala jenis korupsi. Selama berstatus haram, maka harta tersebut tidak bisa dimakan atau digunakan karena bukan miliknya. Harta hasil korupsi jika dimakan dan menjadi darah dalam tubuh, akan senantiasa mendorong untuk melakukan kemunkaran. Jika menjadi sperma akan melahirkan generasi yang tercemar, dan jika dipakai akan melahirkan kemaksiatan dan kemunkaran, demikian seterusnya.
Harta hasil korupsi juga akan membuat nilai ibadah akan merosot, bahkan tidak sah dan tidak diterima oleh Allah. Maka yang bersangkutan berkewajiban mengembalikannya kepada pemilik yang sah. Selain itu, pelakunya diancam oleh Allah dengan siksa neraka (diakhirat) sesuai dengan kadar dosanya dan ia harus mendapatkan hukuman (punishment) didunia sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku serta azas keadilan.
Korupsi merupakan tindakan amoral yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai luhur yang harus melekat pada diri seorang mukmin. Seorang mukmin dituntut bersifat jujur (al-shadiq), menjunjung tinggi amanat (al-amain), dermawan (al-sakho), kasih sayang (al-rahim), suka menolong (al-ta’awun), dan sebagainya. Sementara seorang koruptor merupakan cerminan pribadi yang penipu (al-kadzib), pengkhianat (al-khain), serakah (al-thama’), kejam dan buas (al-mutawakhish), dan sebagainya.
Adalah kewajiban segenap umat Islam untuk saling mengingatkan serta amar ma’ruf nahi munkar, dengan mengembangkan budaya malu melakukan korupsi ditengah masyarakat. Serta membuat gerakan anti korupsi dengan menyerukan hidup bersih dan halal melalui mimbar-mimbar agama dan diseluruh kegiatan pendidikan.
Patut kita syukur bahwa Nahdlatul Ulama dalam berbagai kesempatan menyerukan dilakukannya gerakan memberantas korupsi. Bahkan dalamberbagai keputusannya, baik dalam forum Muktamar, Munas, dan Konber, NU menegaskan sikap yang keras: mengutuk korupsi. Hal diharapkan bisa bahan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat luas, khususnya warga NU. Selain itu, NU juga memberikan saran, masukan, bahkan tuntutan kepada pemegang otoritas politik, pemerintah dan aparat penegak hukum untuk lebih serius memberantas korupsi.
Thursday, April 26, 2007
DARI GERAKAN KE NEGARA
Oleh Syaparudin.J, S.Sos
Ketua PW. GP. Ansor Kaltim
Disampaikan pada acara Diskusi Panel KAMMI Kaltim
Menurut saya diskusi ini menarik bagi mereka yang tengah dan terus mempersoalkan negara dan kekuasaan dari persfektif sekuler dan agama. Namun adapula yang berpendapat bahwa perbincangan atau perdebatan tentang negara (harus menggunakan lebel islam) merupakan pemikiran yang mundur. Tarik menarik terhadap sistem termasuk bentuk negara antara mereka yang berpikiran formalisasi islam dengan pihak yang lebih moderat (tidak perlu berlebel islam, tapi pengelolaan negara harus didasarakan atas nilai-nilai islam) saat ini terus berkembang dalam wacana politik umat Islam negeri ini.
Pertanyaan penting dalam diskusi ini adalah, apakah kita semua sebagai sebuah bangsa sungguh-sungguh menghendaki negara ini bernama sebagai negara Islam yang tentu berkonsekwensi dengan peraturan dan pe-UU-an harus mencerminkan ekslusivitas dokrin-doktrin Islam ? ataukah kita tetap bersepakat bahwa Negara ini tetap bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi prinsip-prinsip luhur ajaran Islam terus kita kembangkan sebagai ruh (spirit / jiwa) yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik negeri ini. Menurut saya diskusi dengan memperdebatkan persoalan sistem dan bentuk negara dalam polaritas antara formalisasi Islam / Negara Islam dengan NKRI berkarakter Islam hendaknya tidak membuat kita larut dalam arus diskusi saja, karena bisa saja diskusi itu semakin membuat ummat Islam tidak produktif karena kita terjebak pada wilayah nama /institusi dan bukan substansi / isi.
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sangat plural (beragam cultur, suku, agama, dan ideolgi) tentu harus pula menjadi bahan pertimbangan bagi ummat Islam, apakah relevan mendesakkan formalisasi Islam dalam konteks ke-Indonesia-an, apakah pemaksaan terhadap formalisasi Islam tidak memberikan pengaruh buruk (mudarat) terhadap solidaritas ummat Islam (ukhuwwah Islamiah), solidaritas kebangsaan (ukhuwwah wathoniah), dan solidaritas kemanusiaan (ukhuwwah Insaniah). Pemaksaan kehendak yang tidak berbasis dengan realitas ke-Indonesia-an tentu merupakan tindakan yang kurang arif dan tidak cerdas dalam proses interaksi sosial dan mencari formulasi terhadap bangunan kenegaraan kita. Allah SWT sendiri memperingatkan kepada hambanya dalam proses kehidupan sebagaimana firmanNya La Ikra Ha Fiddin “ Tidak ada paksaan dalam Agama “ .
Belajar dari sejarah, bahwa politik ummat Islam pasca Nabi Muhammad SAW, telah terjadi konflik yang berkepanjangan, sebab ternyata politik selalu terkait dengan persoalan kekuasaan, sumber-sumber ekonomi, dan legitimasi (pengakuan), oleh karenanya ketika bicara kekuasaan, ekonomi, dan legitimasi selalu berbanding lurus dengan persoalan puas dan tidak puas, siapa mendapatkan apa, dan bagaimana proses distribusi politik dan ekonomi di berikan secara adil pada semua pihak yang ada dan hidup dalam semua komunitas negara. Artinya kalau pada zaman para sahabat saja terjadi pertumpahan darah dalam proses transisi ke khalifahan, ada monopoli-oligopoli atas kebijakan ekonomi (lihat zaman khalifah Ustman Bin Affan) lalu kemudian Usman di bunuh oleh kelompok Syaidina Ali, lalu kemudian sahabat Syaidina Ali pun dibunuh karena faktor peng-sitimewaan terhadap kelompok Syiah, tentu hal tersebut sangat mungkin terjadi dalam komunitas Indonesia yang sangat plural ini.
Pancasila sebagai ideologi dan Islam merupakan agama wahyu
Argumentasi bahwa dasar negara Pancasila dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan bahkan tidak terlalu penting dipertentangkan bahkan tidak harus dipilih salah satunya dengan cara membuang yang lainnya. Sebab Islam tidak bisa disamakan dengan ideologi politik, sebab Islam adalah agama yang diwahyukan, sedangkan ideologi merupakan hasil pemikiran manusia. Sebab bagi pemerintah bahwa keberadaan Pancasila memang bukanlah bukanlah dimaksudkan sebagai agama agama baru bagi
Penerimaan pancasila sebagai azas tunggal negara disebabkan oleh dua argumentasi penting : Pertama’ karena nilai-nilai Pancasila sendiri dianggap baik (maslahah). Islam memberi motivasi kepada umatnya untuk menerima, bukan hanya Pancasila, tetapi juga apa-apa saja yang memiliki nilai-nilai baik yang mampu memberikan konstribusi bagi ikhtiar untuk mewujudkan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Pancasila diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadah dan mitsaq, kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan negara. Berangkat dari sanalah maka negara RI dianggap sebagai upaya final yang dapat dicapai dalam kesepakatan seluruh warga bangsa, termasuk kaum muslimin, untuk mendirikan negara dalam wilayah Nusantara. Dalam pandangan ini, bahwa adanya pengakuan negara didirikan dengan kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain. Sebagai mitsak, sejauh hal itu bisa dicapai, umat Islam harus bertanggung-jawab untuk memegang teguh kesepakatan itu. Dalam hal ini yang dijadikan referansi oleh sejarah ketika nabi Muhammad SAW mendeklarasikan Piagam Madinah sebagai hasil kesepakatan antara umat islam dengan golongan lain untuk menjaga kesatuan dan keutuhan negara Madinah ketika itu, terutama untuk menghadapi musuh dari luar.
Lebih dari itu, dalam konteks keharusan tegaknya negara dengan seperangkat instrumen dan undang-undangnya dalam rangka tujuan yang jauh lebih besar, yakni untuk melindungi penegakkan ajaran Islam, maka penerimaan Pancasila adalah wajib. Sekalipun perangkat-perangkat kenegaraan itu belum sepenuhnya sempurna menurut idealisme Islam, akan tetapi demi terwujudnya kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang kuat dan efektif untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara, yang berarti juga demi cita-cita Islam, maka merupakan sesuatu hal dharuri (darurat) menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan atas argumentasi ini dapat mengacu kepada sebuah qaidah fiqh yang berbunyi “ ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun “ artinya “ hal-hal yang tanpanya suatu yang wajib tidak bisa dipenuhi, maka ia juga menjadi wajib “. Maksudnya kalau mengakkan syari’at Islam itu adalah wajib, maka instrumen kenegaraan yang menjadi persyaratan untuk adalah wajib pula. Penerapan qaidah-qaidah fiqh dalam merespons berbagai persoalan kontemporer. Hal ini memungkinkan untuk menempuh penyelesaian yang didasarkan kepada pilihan resiko terkecil dan menghindari yang beresiko besar atau selalu memilih yang terbaik diantara berbagai pilihan yang ada. Apabila prinsip (qaidah) ini selalu kita jadikan rujukan dalam proses pilihan pengambilan keputusan dalam ektrimitas pikiran dan polaritas masyarakat, maka kita akan semakin matang dan tidak mudah terjebak dalam arus konflik yang berujung pangkal.
KONSEPSI TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Dalam wacana politik Islam sendiri, paling tidak, terdapat tiga paradigma tentang pola hubungan antara Islam dan negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik dan paradigma sekuleristik. Ketiga paradigma ini dapat digunakan untuk mengukur corak pemikiran tertentu tentang politik Islam.
Paradigma integralistik mengajukan konsep tentang bersatunya agama dan negara. Islam dan negara dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integreted), dimana wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut paradigma ini Islam merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Illahi, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “Tangan’ Tuhan. Dalam konteks ini, sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan sebagai penyelenggara kedaulatan Tuhan, maka negara haruslah bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung pengertian kekuasaan mutlak berada ditangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan kepada wahyu atau syari’at.
Paradigma tersebut diatas dianut oleh kelompok Syi’ah dan “fundamentalisme Islam”, walau dalam banyak hal bisa berbeda. Bagi Syi’ah, negara yang dalam istilah mereka disebut imamah, merupakan lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan pula. Berhubung legitimasi berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat Nabi Muhammad dan garis keturunannya, maka legitimasi politik pun harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan nabi yang mempunyai derajat ishmah (suci dari dosa).
Sedangan paradigma simbiotik memandang agama dan negara berhubungan secara timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara - agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiotik agama dan negara ini misalnya dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi, seorang teoritikus politik terkemuka pada masa klasik. Dalam hal al-Mawardi mengaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hal ini memelihara agama dan mengatur dunia merupakan dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Sementara itu al-Ghazali juga mengisyaratkan tentang hubungan yang paralel antara agama dan negara. Menurut al-Ghazali, jika Tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka “kekuatan Illahi” (Far’i Izadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni kemaslahatan kehidupan manusia. Paralelisme hubungan antara agama dan negara ini menunjukkan bahwa al-Ghazali tidakmenganut pandangan bahwa Islam harus menyatu secara kelembagaan dengan negara, melainkan agama dan negara merupkan saudara kembar yang lahir dari satu ibu.
Paradigma ketiga adalah Paradigma sekuleristik, adalah sebuah paradigma yang menolak konsep baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Paradigma sekuleristik ini mengajukan konsep pemisahan secara diametral antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, atau paling tidak,menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Dalam hal ini, islam merupakan sistem keyakinan yang berasal dari wahyu dan tidak ada kaiannya sama sekali dengan negara, sedangkan negara merupakan hal profan yang adanya merupakan keharusan sosiologis dan rasional dan tidak membutuhkan agama.
Diantara para pemikkir politik Islam, Ali Abd. Raziq dinilai menganut paradigma sekuleristik ini. Dalam karyanya “al Islam wa Ushul al Hukmi” Razik mengatakan bahwa Islam tidak meberi petunjuk apapun tentang bentuk negara, bahkan menurut Razik ke khalifahan tidak mempunyai dasar, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejarah Islam harus ditafsiri sebagai fenomena sosio-historis biasa seperti juga terjadi pada sejarah umat lainnya. Dengan demikian Islam sama sekali tidak terkait dengan persoalan politik.
Bagi Gerakan Pemuda Ansor, sebagaimana sikap Nahdlatul Ulama yang menempatkan wajah kosmopolitanisme Islam sebagai payung bagi kepentingan semua manusia, yakni Islam yang benar-benar berfungsi sebagai rahmatan lil alamin (pelindung, penyeru, dan pemberi kedamaian). Sebagimana pendapat Gus Dur yang mengatakan bahwa gerakan Islam hendaknya mampu mengakomodasi kelompok manapun, menerima pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Dari sinilah kemudian nilai-nilai Islam harus melekat dan menjadi ruh dalam proses pengelolaan kebijakan negara. Dan kebijakan negara yang bersumber dari watak dan nilai-nilai religiusisitas diyakini akan memberikan rasa adil, aman dan nyaman bagi semua komunitas bangsa.
Dengan pemikiran tersebut diatas, maka pilihan gerakan Islam di Indonesia hendaknya diarahkan kepada gerakan kultural dan bukan gerakan politik. Gerakan kultural menghindari dari penggunaan politik dan struktur kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan simbol-simbal Islam dalam kehidupan bernegara. Energi politik umat Islam harus lebih diarahkan pada kegiatan-kegiatan non-politik,sekaligus untuk menghindari perseteruan politik dengan golongan lain dan sesama rekan sendiri, dalam rangka menumbuhkan kesadaran keagamaan dan sosial para pengikutnya. Inilah kira-kira pilihan gerakan politik umat Islam versi keluarga besar NU.
Penutup
Dari paparan diatas, maka jelas bahwa pilihan Gerakan Politik GP. Ansor akan identik dengan pilihan gerakan politik NU dimana memandang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks ke Indonesia-an, sebagai dua hal yang berbeda, akan tetapi saling berhubungan secara simbiotik NU menghindari pandangan penyatuan Islam dan negara, akan tetapi memisahkan sama-sekali antara keduanya, dalam pandangan NU, tidak beralasan. Sebab keberadaan Islam sebagai agama mempunyai sudut pandang pemikiran sendiri terhadap bagaimana sebuah negara dapat berjalan pada garis norma dan etika Islam, dan agar negara dapat melindungi praktek dan pelaksanaan agama oleh para pemeluknya. Dengan demikian agama mempunyai kekuatan legitimasi untuk menentukan bagaimana seharusnya negara dikelola. Dan NU tidak menolak atau menentang negara yang tidak berasas Islam, akan tetapi NU akan menolak bentuk atau ideologi negara yang bertentangan dengan Islam.