Punya blog atau web, daftar dengan klik dibawah ini untuk tambahan duit

Tuesday, October 2, 2007

Polisi Usut Sweeping FPI di Samarinda

Senin, 01 Oktober 2007

SAMARINDA, TRIBUN- Poltabes Samarinda terus mengusut tindakan sweeping yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), Sabtu (29/9) dinihari lalu. Polisi sudah mendapat laporan seorang warga yang terjaring sweeping tersebut.

Menurut Kasat Reskrim Poltabes Samarinda, Kompol Novi Irawan SIK, pihaknya sedang mendalami laporan itu, yakni terkait unsur pidana pengeroyokan oleh oknum anggota FPI. "Polisi sudah mengantongi nama pelaku. Sekarang kami sedang mencari yang bersangkutan untuk dimintai keterangan," ujar Novi, Minggu (30/9) siang.

Ia menjelaskan, pria berinisial JY itu dikenali oleh korban pengeroyokan saat FPI sweeping. Novi mengaku telah menelusuri tempat tinggal pelaku namun sejauh ini belum menemukannya.

Selain JY, kata Novi, kemungkinan masih ada pelaku lain yang tidak dikenali korban.

Kabag Operasional Poltabes Samarinda, Kompol Robert SP SIK mengatakan, peristiwa pengeroyokan di Samarinda Seberang sebenarnya tidak termasuk dalam agenda aksi konvoi FPI malam itu. "Kami hanya mendapat pemberitahuan dari FPI, mereka akan melakukan konvoi keliling Kota Samarinda. Isi pemberitahuan cuma konvoi. Tidak ada yang lain," ujarnya.

Karena itu, Robert menurunkan sekitar 400 pesrsonil untuk membantu pengawalan aksi damai tersebut. Namun setelah 2 jam melakukan konvoi, polisi kata Robert tak mengira sebagian anggota FPI akan melakukan sweeping di Samarinda Seberang karena mereka kembali ke tempat semula, Masjid Darun Nikmah Karang Asam. "Sebagian dari mereka sudah pulang, karena itu anggota juga kembali ke Mapoltabes," ujarnya.

Robert mengatakan, Poltabes Samarinda akan melakukan tindakan sesuai dengan undang-undang pidana.

Ketua Laskar FPI Kaltim, Habib Fauzi yang dikonfirmasi mengatakan, sweeping di Samarinda Seberang tidak masuk dalam agenda. Malam itu FPI hanya menggelar konvoi damai. "Tujuannya cuma konvoi saja. Kita tidak tahu persoalan pemukulan itu," ujarnya. Jika hal tersebut terjadi Habib Fauzi mengatakan itu hanya ulah segelintir oknum FPI, tidak mengatasnamakan FPI secara kelembagaan. Tidak Boleh

Pengurus Wilayah GP Ansor Kaltim menyayangkan aksi sweeping Front Pembela Islam (FPI) Kaltim, Sabtu (29/9) kemarin, hingga menyebabkan Kapolsek Seberang AKP Arif Budiman SIK terluka.

"Kita ini ada aturan hukum, tidak lantas ada ormas atau OKP yang lalu mengambil langkah- langkah sendiri tanpa memperdulikan hukum yang telah berlaku. Itu namanya main hakim sendiri," kata Syaparudin J, ketua PW GP Ansor Kaltim kepada Tribun, Minggu (30/9).

Menurut dia, jika berbentuk anarkhis maka aparat kepolisian berhak melakukan tindakan tegas dan tidak membiarkan aksi-aksi tersebut dilakukan sehingga mengganggu stabilitas keamanan kota Samarinda pada khususnya.

"Polisi kami yakin tahu yang mana bentuknya anarkhis, mana yang tidak. Apalagi sampai ada yang terluka. Polisi berhak untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap aksi yang tidak dibenarkan itu," jelasnya.

Muhammadiyah Menyayangkan

Pimpinan Wilayah (PW) Pemuda Muhammadiyah Kaltim juga menyayangkan aksi itu. Menurut Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Kaltim Ahmad Aznem, seharusnya sweeping tak dilakukan oleh ormas tersebut. "Kami di Pemuda Muhammadiyah pun begitu, jika menemukan kejanggalan atau sesuatu temuan serahkan kepada polisi. Biar aparat kepolisian yang bertindak," kata Aznem, Minggu (30/9).

Meski demikian Aznem memandang, konvoi damai yang berujung pada pemukulan hingga mengakibatkan sejumlah warga dan Kapolsek Samarinda Seberang terluka itu sebagai bentuk kekecewaan FPI terhadap kinerja aparat. Semestinya, hal ini bisa dicegah jika saja aparat telah lebih dulu mengantisipai dan mawas diri.

"Kenapa FPI turun? Itu mungkin karena aparat kurang sigap, dan dipandang kurang proaktif. Dalam hal ini saya menilai kerja aparat lamban, karena terbukti ada ormas Islam yang harus turun menertibkan kota di bulan puasa ini. Kenapa setelah FPI turun, aparat baru turun?" tanya Aznem.

Pada Ramadan 1428 H ini, PW Pemuda Muhammadiyah Kaltim menyerukan pesan-pesan perubahan dan pembebasan kepada seluruh umat Islam. Di antaranya mengajak masyarakat Kaltim untuk menahan diri, mengendalikan emosi dan menjalankan hak dan kewajiban hidupnya namun tidak harus mengganggu hak dan kewajiban hidup orang lain.

Tugas Aparat

Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Kaltim Farid Wadjdy berharap jika ada ormas yang akan turun ke jalan, terkait pengamanan di bulan Ramadan bisa meminta pengawalan dari kepolisian.

"Jika ada tindakan main hakim sendiri aparat harus bertindak untuk lebih responsif. Dan bagi ormas yang turun ke jalan dan sudah meminta pengawalan dari kepolisian maka yang melakukan tindakan di lapangan hanya dari aparat," ujar Farid, Minggu (30/9).

Sebelumnya, Kanwil Depag Kaltim telah menegaskan, tindakan anarkhis yang dilakukan akan sangat bertentangan dengan bulan Ramadan, yang seharusnya dijalankan dalam suasana kondusif.

"Dalam hal ini aparat harus bisa melakukan pengamanan lebih awal sehingga para tidak terdorong untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Pemerintah sendiri harus lebih responsif terhadap aturan yang sudah ditetapkan," kata Farid. (asi/aid/mei/ksw) Tribun kaltim

Sunday, September 2, 2007

30 Agustus 2007, Tamu Langganan Samarinda Datang


Usai Lantik 2 PC Ansor Di Kaltim, Gus Ipul Kunjungi Veteran Perang

Kaltim, [GP-Ansor] : Ketua umum Gerakan Pemuda [GP] Ansor Saifullah Yusuf melantikan dua pengurus Pimpinan Cabang [PC] Ansor baru, yakni PC Ansor Kota Balikpapan dan PC Ansor Kota Penajam Pasir Utara. Pelantikan tersebut langsung dilanjutkan dengan Rakercab Ansor Kota Balik Papan. “Saya minta kader Ansor lebih peka kepada persoalan perut rakyat. Masalahnya saat ini rakyat makin sulit dan sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,”

Demikian dikatakan Gus Ipul-panggilan akrab Saiful usai membuka rakercab tersebut di Balikpapan, Kalimantan Timur, 25 Agustus 2007. Ditambahkannya, kesulitan rakyat makin menjadi jadi karena sejumlah bahan pokok terus naik, misalnya minyak goreng yang sempat turun kemudian naik. Ditambah lagi dengan langkanya minyak tanah,”ujarnya yang datang bersama Sekjen Ansor Malik Haramain dan Wakil Sekjen Ansor Mukthar Hadyu.

Dalam acara tersebut Gus Ipul menyempatkan diri mengunjungi dan sekaligus bersilaturahmi dengan para veteran perang yang umumnya sudah usia lanjut. Bahkan melalui Gus Ipul, Ansor memberikan perhatiannya dengan memberi sumbangan minyak goreng dan beras sebanyak 800 Kg, serta bantuan dana. “Jangan dilihat nominal bantuannya, tapi ini sebagai ujud kepekaan Ansor terhadap rakyat,”terangnya.

Yang jelas, kata Gus Ipul, Ansor takkan pernah melupakan jasa-jasa para veteran yang telah memberikan tenaganya untuk mempertahankan NKRI dari berbagai ancaman dan rongrongan. “Ansor sangat menghargai veteran,”imbuhnya. [eko] (dari www.gp-ansor.or.id)

Monday, May 21, 2007

Ansor dan Semangat Kabangsaan

Hari ini Indonesia kita tengah mengalami proses pergeseran nilai, dari watak nasionalistik kepada watak kedaerahan. Keterkikisan nilai-nilai kebangsaan tersebut jika dibiarkan begitu saja, tentu dapat berakibat buruk bagi bangunan kebersamaan atas dasar lintas suku, budaya, bahasa dan agama dalam bingkai ke Indonesia-an (ukhuwwah wathoniah).

Menguatnya semangat kedaerahan, kesukuan, dan eksluvitas beragama, menurut saya adalah wujud dari perlawanan terhadap gerakan politisasi atas nilai-nilai kebangsaan yang tidak bersumber pada kejujuran dan keadilan dalam hal penghargaan atas pluralitas-kebhenika-an dalam pengelolaan dan pengaturan seluruh sumber-sumber ekonomi dan politik kenegaraan selama kurun 60 an tahun negeri ini. Pengelaolaan negara dengan cara yang monolitik, hegemonik, dan centralistik tersebut telah mendistorsi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dari watak yang demikianlah sesungguhnya cikal-bakal menguatnya semangat kedaerahan disemua daerah dan apabila hal tersebut tidak diantisipasi secara arif dan bijaksanan tentu dapat mengancam masa depan Indonesia itu sendiri.

Esensi hidup adalah kebersamaan, maksudnya adalah kebersamaan yang dilandasi oleh semangat kebangsaan dan kemanusiaan, dan semangat tersebut meniscayakan adanya saling harga mengahargai antara satu dengan yang lainnya dengan tidak membedakan suku, daerah, bahasa dan agama. Dari sinilah kemudian kita baru mulai menata berbagai regulasi kekuasaan, mulai membangun watak kebangsaan dan terbangunnya relasi bangsa-negara (nation state) secara kuat, serta dari sini pulalah kemudian diharapkan tumbuhnya kearifan-kearifan lokal untuk membangun cita-cita nasional.

Bahwa terlepas dari aspek politisasi yang mendistorsi makna kebangsaan dan mengakibatkan krisis dan menipisnya rasa solidaritas kebangsaan. Biasanya solidaritas kedaerahan, kesukuan dst dilandasi oleh faktor daerah selama selalu dipinggirkan dalam proses pembangunan. Daerah selama ini selalu menjadi obyek (pasif) yang diperas, dan biasanya pembangunan didaerah selalu top down dan tidak berbasis realitas, dari sinilah kemudian masyarakat tidak merasa memiliki dan tidak bertanggung-jawab terhadap pembangunan didaerahnya.

Tuesday, May 8, 2007

Islam dan Gerakan Pemberantasan Korupsi

Mengulas dan Mensosialisasikan Pikiran KH. Sahal Mahfudz

Oleh : Syaparudin. J, S.Sos

Ketua Umum PW.GP. ANSOR Kaltim

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Kehidupan beragama pada tataran ritual dengan segala sarana dan prasarananya serta kelembagaannya menunjukkan tingkat perkembangan yang sangat pesat. Kesemarakan yang terjadi pada tiap-tiap momentum keagamaan, seperti ibadah puasa pada bulan ramadhan, ibadah haji pada musim haji (jumlah jama’ah haji Indonesia adalah yang terbesar didunia), perayaan hari-hari besar Islam serta upacara-upacara keagamaan menunjukkan bahwa semangat beragama warga bangsa kita tidak kalah dengan negara Islam yang lain. Sarana ibadah, dakwah dan pendidikan serta lembaga keagamaan seperti masjid, mushalla, majelis ta’lim, pesantren, islamic centre, madrasah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pengkajian Islam yang semakin banyak jumlahnya. Organisasi massa Islam dan parpol Islam juga ikut berlomba-lomba memajukan Islam dan kaum muslimin. Kita patut mensyukuri perkembangan ini.


Namun demikian sangat patut diperhatikan bahwa realitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara keseluruhan menunjukkan prestasi yang sangat mengecewakan. Semarak kehidupan beragama seperti digambarkan diatas terbukti kurang memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas akhlak dan moralitas ummat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga mutu kehidupan bangsa tak kunjung membaik, bahkan ada tanda-tanda semakin menurun. Pada ranah sosial kemasyarakatan telah terjadi berbagai penyakit sosial yang kian membuat kita miris. Pengangguran di mana-mana, kriminalitas merajalela, solidaritas dan nilai-nilai persaudaraan makin menipis, kekerasan dan konflik antar kelompok makin sering terjadi, dan yang amat gawat perilaku mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain telah menjangkiti masyarakat luas.


Dalam bidang pengelolaan pembangunan dan sumberdaya negara juga terjadi hal yang tidak kalah buruknya. Disamping pengambilan keputusan yang sering tidak tepat, salah urus dan inefisiensi dengan tingkat rata-rata 30 % dihampir semua sektor, Indonesia terus menduduki peringkat teratas di Asia dan ketiga di dunia dalam bidang korupsi. Hampir semua orang sepakat bahwa krisis multidimensi yang melanda Indonesia disebabkan oleh penyelenggaraan negara yang buruk dan oleh korupsi.


Islam dalam pengertiannya yang kaffah, disamping mengatur hubungan manusia dengan Allah, juga memberikan dasar-dasar etika dan moral antara hubungan manusia dengan sesama dalam kehidupan kemasyarakatan, ekonomi dan politik termasuk prinsip-prinsip pengelolaan lembaga politik dan kekuasaan yang bernama negara (al-daulah). Berkaitan dengan fenomena maraknya korupsi, kita bisa melihat prinsip-prinsip moral / keagamaan prihal “ keuangan negara (publik)”, konsep harta halal dan haram dan ajaran tentang etika (al-akhlak al karimah) yang telah diajarakan oleh Islam.


Islam menegaskan bahwa pada hakikatnya uang dan harta negara (publik) adalah uang dan harta Allah yang diamanatkan kepada pemerintah, bukan untuk penguasa dan para pejabat, melainkan untuk di-tasharruf-kan (dipersembahkan) bagi sebesar-besarnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi atas dasar apapun. Setiap dzarrah dari uang dan kekayaan negara harus dipertanggung-jawabkan dihadapan Allah (dihari akhirat nanti) dan dipertanggung-jawabkan didepan rakyat banyak (didunia).


Sesuai petunjuk Islam uang dan harta negara haruslah di tasharrufkan (dipersembahkan) sejujur-jujurnya dengan cara setepat-tepatnya agar mampu mewujudkan kemaslahatan bagi segenap rakyat. Untuk itu, selain mengacu kepada konsep keadilan (al-adalah), pentasharruf-an ini juga memperhatikan sebenar-benarnya prioritas kepada kaum lemah, orang kecil dan kaum fakir miskin (al-duafa wal mustad afin).


Melihat ketentuan Allah diatas, kejahatan korupsi merupakan pengingkaran terhadap ajaran Allah. Oleh karena itu, merupakan kewajiban seluruh rakyat, baik masyarakat, penguasa, pejabat publik, para cerdik cendekia serta para ulama untuk melakukan kontrol sosial (amar ma’ruf nahi munkar) terus menerus disemua tingkatan dari desa hingga pemerintahan pusat, agar tidak satu sen pun dari harta dan kekayaan negara sebagai milik Allah itu diselewengkan untuk kepentingan pribadi penguasa, pejabat dan kroninya, atau disalah-gunakan untuk hal-hal yang merugikan rakyat dan melawan tuntutan kemaslahatan dan keadilan bersama, serta pelanggaran atas syariat Allah.


Amar ma’ruf nahi munkar ini mesti dimulai semenjak penetapan keputusan-keputusan menyangkut penggunaan uang negara, seperti penyusunan APBD dan APBN, agar pentasharrufan-nya betul-betul sesuai dengan azas kemaslahatan bagi semua dan memprioritaskan nasib rakyat bawah. Selanjutnya, ikhtiar ini perlu dilakukan terus-menerus pada fase pelaksanaan sehingga tidak ada satu lobangpun kesempatan bagi para koruptor melaksanakan niatnya. Selain itu, bangsa kita berkewajiban mengingatkan (tawasshawbilhaq) para penegak hukum atas amanat yang dibebankan kepada mereka serta memberikan dukungan untuk bertindak tegas terhadap para penjarah uang negara dan pengkhianat amanat rakyat.


Disisi lain, agama memerintakan kepada kita agar hanya memakan dan memakai harta yang halal. Islam menyuruh kita untuk mencari rezeki yang halal dan menjauhkan diri dari rezeki yang haram. Kehalalan dan ke haraman rezeki bukan hanya ditentukan oleh dzatnya melainkan juga oleh bagaimana kita memperolehnya. Contoh : Daging babi dan minuman keras haram karena dzatnya, daging ayam dari sari kelapa curian haram karena cara memperolehnya tidak dibenarkan oleh agama.


Kehalalan dan keharaman dari segi cara mendapatkan ini terkait dengan prinsip islam dalam penjaminan hak milik yang sah bagi seseorang atau suatu lembaga, tidak bisa berubah menjadi milik orang atau lembaga lain kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan agama (bi-al Thuruq al-masyru^ah).


Perpindahan hak miliki bisa dibenarkan agama jika melalui proses transaksi yang syar’i, baik bersifat muawadlah (imbal balik) seperti jual beli, aqad sewa,hutang piutang, tukar menukar dan sebagainya, maupun yang bersifat tabarru’ (pemberian tanpa imbalan) seperti hibah, hadiah, sadaqah, wakaf, infaq, wasiat dan sejenisnya. Cara halal yang lain adalah melalui penggantian orang dari orang, yaitu pewarisan, penggantian barang dari barang yakni penggantian kerugian berupa barang atau uang atas tindak kejahatan atau pelanggaran pidana atau perdata.


Perpindahan kepemilikan tidak sah jika dilakukan melalui cara-cara antara lain mencuri, merampok, menipu, mengutil, menggelapkan, riba, suap dan segala jenis korupsi. Selama berstatus haram, maka harta tersebut tidak bisa dimakan atau digunakan karena bukan miliknya. Harta hasil korupsi jika dimakan dan menjadi darah dalam tubuh, akan senantiasa mendorong untuk melakukan kemunkaran. Jika menjadi sperma akan melahirkan generasi yang tercemar, dan jika dipakai akan melahirkan kemaksiatan dan kemunkaran, demikian seterusnya.


Harta hasil korupsi juga akan membuat nilai ibadah akan merosot, bahkan tidak sah dan tidak diterima oleh Allah. Maka yang bersangkutan berkewajiban mengembalikannya kepada pemilik yang sah. Selain itu, pelakunya diancam oleh Allah dengan siksa neraka (diakhirat) sesuai dengan kadar dosanya dan ia harus mendapatkan hukuman (punishment) didunia sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku serta azas keadilan.


Korupsi merupakan tindakan amoral yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai luhur yang harus melekat pada diri seorang mukmin. Seorang mukmin dituntut bersifat jujur (al-shadiq), menjunjung tinggi amanat (al-amain), dermawan (al-sakho), kasih sayang (al-rahim), suka menolong (al-ta’awun), dan sebagainya. Sementara seorang koruptor merupakan cerminan pribadi yang penipu (al-kadzib), pengkhianat (al-khain), serakah (al-thama’), kejam dan buas (al-mutawakhish), dan sebagainya.


Adalah kewajiban segenap umat Islam untuk saling mengingatkan serta amar ma’ruf nahi munkar, dengan mengembangkan budaya malu melakukan korupsi ditengah masyarakat. Serta membuat gerakan anti korupsi dengan menyerukan hidup bersih dan halal melalui mimbar-mimbar agama dan diseluruh kegiatan pendidikan.


Patut kita syukur bahwa Nahdlatul Ulama dalam berbagai kesempatan menyerukan dilakukannya gerakan memberantas korupsi. Bahkan dalamberbagai keputusannya, baik dalam forum Muktamar, Munas, dan Konber, NU menegaskan sikap yang keras: mengutuk korupsi. Hal diharapkan bisa bahan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat luas, khususnya warga NU. Selain itu, NU juga memberikan saran, masukan, bahkan tuntutan kepada pemegang otoritas politik, pemerintah dan aparat penegak hukum untuk lebih serius memberantas korupsi.

Kesimpulan penutup

Intinya korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji, merupakan tindakan amoral yang hanya menguntungkan diri sendiri atau memperkaya diri sendiri, merugikan kepentingan publik, dan tindakan tersebut bertentangan dengan syar’i (hukum islam). sipelaku jelaslah bukan figur yang amanah, bahkan perilaku seorang koruptor adalah cerminan pribadi yang penipu (al-kha’in), serakah (al-Thama’), kejam dan buas (al-Mutawakhish). Sekian karya kecil ini saya sampaikan kepada khalayak luas. Semoga ada manfaatnya. Amien.

Thursday, April 26, 2007

DARI GERAKAN KE NEGARA

Oleh Syaparudin.J, S.Sos

Ketua PW. GP. Ansor Kaltim

Disampaikan pada acara Diskusi Panel KAMMI Kaltim

Menurut saya diskusi ini menarik bagi mereka yang tengah dan terus mempersoalkan negara dan kekuasaan dari persfektif sekuler dan agama. Namun adapula yang berpendapat bahwa perbincangan atau perdebatan tentang negara (harus menggunakan lebel islam) merupakan pemikiran yang mundur. Tarik menarik terhadap sistem termasuk bentuk negara antara mereka yang berpikiran formalisasi islam dengan pihak yang lebih moderat (tidak perlu berlebel islam, tapi pengelolaan negara harus didasarakan atas nilai-nilai islam) saat ini terus berkembang dalam wacana politik umat Islam negeri ini.

Pertanyaan penting dalam diskusi ini adalah, apakah kita semua sebagai sebuah bangsa sungguh-sungguh menghendaki negara ini bernama sebagai negara Islam yang tentu berkonsekwensi dengan peraturan dan pe-UU-an harus mencerminkan ekslusivitas dokrin-doktrin Islam ? ataukah kita tetap bersepakat bahwa Negara ini tetap bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi prinsip-prinsip luhur ajaran Islam terus kita kembangkan sebagai ruh (spirit / jiwa) yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik negeri ini. Menurut saya diskusi dengan memperdebatkan persoalan sistem dan bentuk negara dalam polaritas antara formalisasi Islam / Negara Islam dengan NKRI berkarakter Islam hendaknya tidak membuat kita larut dalam arus diskusi saja, karena bisa saja diskusi itu semakin membuat ummat Islam tidak produktif karena kita terjebak pada wilayah nama /institusi dan bukan substansi / isi.

Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sangat plural (beragam cultur, suku, agama, dan ideolgi) tentu harus pula menjadi bahan pertimbangan bagi ummat Islam, apakah relevan mendesakkan formalisasi Islam dalam konteks ke-Indonesia-an, apakah pemaksaan terhadap formalisasi Islam tidak memberikan pengaruh buruk (mudarat) terhadap solidaritas ummat Islam (ukhuwwah Islamiah), solidaritas kebangsaan (ukhuwwah wathoniah), dan solidaritas kemanusiaan (ukhuwwah Insaniah). Pemaksaan kehendak yang tidak berbasis dengan realitas ke-Indonesia-an tentu merupakan tindakan yang kurang arif dan tidak cerdas dalam proses interaksi sosial dan mencari formulasi terhadap bangunan kenegaraan kita. Allah SWT sendiri memperingatkan kepada hambanya dalam proses kehidupan sebagaimana firmanNya La Ikra Ha Fiddin “ Tidak ada paksaan dalam Agama “ .

Belajar dari sejarah, bahwa politik ummat Islam pasca Nabi Muhammad SAW, telah terjadi konflik yang berkepanjangan, sebab ternyata politik selalu terkait dengan persoalan kekuasaan, sumber-sumber ekonomi, dan legitimasi (pengakuan), oleh karenanya ketika bicara kekuasaan, ekonomi, dan legitimasi selalu berbanding lurus dengan persoalan puas dan tidak puas, siapa mendapatkan apa, dan bagaimana proses distribusi politik dan ekonomi di berikan secara adil pada semua pihak yang ada dan hidup dalam semua komunitas negara. Artinya kalau pada zaman para sahabat saja terjadi pertumpahan darah dalam proses transisi ke khalifahan, ada monopoli-oligopoli atas kebijakan ekonomi (lihat zaman khalifah Ustman Bin Affan) lalu kemudian Usman di bunuh oleh kelompok Syaidina Ali, lalu kemudian sahabat Syaidina Ali pun dibunuh karena faktor peng-sitimewaan terhadap kelompok Syiah, tentu hal tersebut sangat mungkin terjadi dalam komunitas Indonesia yang sangat plural ini.

Pancasila sebagai ideologi dan Islam merupakan agama wahyu

Argumentasi bahwa dasar negara Pancasila dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan bahkan tidak terlalu penting dipertentangkan bahkan tidak harus dipilih salah satunya dengan cara membuang yang lainnya. Sebab Islam tidak bisa disamakan dengan ideologi politik, sebab Islam adalah agama yang diwahyukan, sedangkan ideologi merupakan hasil pemikiran manusia. Sebab bagi pemerintah bahwa keberadaan Pancasila memang bukanlah bukanlah dimaksudkan sebagai agama agama baru bagi Indonesia. Pancasila sesungguhnya hanyalah merupakan proses formulasi dan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang dalam tradisi Indonesia. Keberadaan Pancasila dimaksudkan sebagai kompromi ideologis atas pluralitas kebangsaan, dia merupakan perekat atas keberagaman (sunnatullah) bangsa. Itulah kira-kira kesepakatan para tokoh agama yang terlibat dalam penerimaa Pancasila sebagai azas tunggal Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa dab bernegara.

Penerimaan pancasila sebagai azas tunggal negara disebabkan oleh dua argumentasi penting : Pertama’ karena nilai-nilai Pancasila sendiri dianggap baik (maslahah). Islam memberi motivasi kepada umatnya untuk menerima, bukan hanya Pancasila, tetapi juga apa-apa saja yang memiliki nilai-nilai baik yang mampu memberikan konstribusi bagi ikhtiar untuk mewujudkan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Pancasila diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadah dan mitsaq, kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan negara. Berangkat dari sanalah maka negara RI dianggap sebagai upaya final yang dapat dicapai dalam kesepakatan seluruh warga bangsa, termasuk kaum muslimin, untuk mendirikan negara dalam wilayah Nusantara. Dalam pandangan ini, bahwa adanya pengakuan negara didirikan dengan kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain. Sebagai mitsak, sejauh hal itu bisa dicapai, umat Islam harus bertanggung-jawab untuk memegang teguh kesepakatan itu. Dalam hal ini yang dijadikan referansi oleh sejarah ketika nabi Muhammad SAW mendeklarasikan Piagam Madinah sebagai hasil kesepakatan antara umat islam dengan golongan lain untuk menjaga kesatuan dan keutuhan negara Madinah ketika itu, terutama untuk menghadapi musuh dari luar.

Lebih dari itu, dalam konteks keharusan tegaknya negara dengan seperangkat instrumen dan undang-undangnya dalam rangka tujuan yang jauh lebih besar, yakni untuk melindungi penegakkan ajaran Islam, maka penerimaan Pancasila adalah wajib. Sekalipun perangkat-perangkat kenegaraan itu belum sepenuhnya sempurna menurut idealisme Islam, akan tetapi demi terwujudnya kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang kuat dan efektif untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara, yang berarti juga demi cita-cita Islam, maka merupakan sesuatu hal dharuri (darurat) menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan atas argumentasi ini dapat mengacu kepada sebuah qaidah fiqh yang berbunyi “ ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun “ artinya “ hal-hal yang tanpanya suatu yang wajib tidak bisa dipenuhi, maka ia juga menjadi wajib “. Maksudnya kalau mengakkan syari’at Islam itu adalah wajib, maka instrumen kenegaraan yang menjadi persyaratan untuk adalah wajib pula. Penerapan qaidah-qaidah fiqh dalam merespons berbagai persoalan kontemporer. Hal ini memungkinkan untuk menempuh penyelesaian yang didasarkan kepada pilihan resiko terkecil dan menghindari yang beresiko besar atau selalu memilih yang terbaik diantara berbagai pilihan yang ada. Apabila prinsip (qaidah) ini selalu kita jadikan rujukan dalam proses pilihan pengambilan keputusan dalam ektrimitas pikiran dan polaritas masyarakat, maka kita akan semakin matang dan tidak mudah terjebak dalam arus konflik yang berujung pangkal.

KONSEPSI TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

Dalam wacana politik Islam sendiri, paling tidak, terdapat tiga paradigma tentang pola hubungan antara Islam dan negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik dan paradigma sekuleristik. Ketiga paradigma ini dapat digunakan untuk mengukur corak pemikiran tertentu tentang politik Islam.

Paradigma integralistik mengajukan konsep tentang bersatunya agama dan negara. Islam dan negara dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integreted), dimana wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut paradigma ini Islam merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Illahi, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “Tangan’ Tuhan. Dalam konteks ini, sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan sebagai penyelenggara kedaulatan Tuhan, maka negara haruslah bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung pengertian kekuasaan mutlak berada ditangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan kepada wahyu atau syari’at.

Paradigma tersebut diatas dianut oleh kelompok Syi’ah dan “fundamentalisme Islam”, walau dalam banyak hal bisa berbeda. Bagi Syi’ah, negara yang dalam istilah mereka disebut imamah, merupakan lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan pula. Berhubung legitimasi berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat Nabi Muhammad dan garis keturunannya, maka legitimasi politik pun harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan nabi yang mempunyai derajat ishmah (suci dari dosa).

Sedangan paradigma simbiotik memandang agama dan negara berhubungan secara timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara - agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiotik agama dan negara ini misalnya dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi, seorang teoritikus politik terkemuka pada masa klasik. Dalam hal al-Mawardi mengaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hal ini memelihara agama dan mengatur dunia merupakan dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.

Sementara itu al-Ghazali juga mengisyaratkan tentang hubungan yang paralel antara agama dan negara. Menurut al-Ghazali, jika Tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka “kekuatan Illahi” (Far’i Izadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni kemaslahatan kehidupan manusia. Paralelisme hubungan antara agama dan negara ini menunjukkan bahwa al-Ghazali tidakmenganut pandangan bahwa Islam harus menyatu secara kelembagaan dengan negara, melainkan agama dan negara merupkan saudara kembar yang lahir dari satu ibu.

Paradigma ketiga adalah Paradigma sekuleristik, adalah sebuah paradigma yang menolak konsep baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Paradigma sekuleristik ini mengajukan konsep pemisahan secara diametral antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, atau paling tidak,menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Dalam hal ini, islam merupakan sistem keyakinan yang berasal dari wahyu dan tidak ada kaiannya sama sekali dengan negara, sedangkan negara merupakan hal profan yang adanya merupakan keharusan sosiologis dan rasional dan tidak membutuhkan agama.

Diantara para pemikkir politik Islam, Ali Abd. Raziq dinilai menganut paradigma sekuleristik ini. Dalam karyanya “al Islam wa Ushul al Hukmi” Razik mengatakan bahwa Islam tidak meberi petunjuk apapun tentang bentuk negara, bahkan menurut Razik ke khalifahan tidak mempunyai dasar, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejarah Islam harus ditafsiri sebagai fenomena sosio-historis biasa seperti juga terjadi pada sejarah umat lainnya. Dengan demikian Islam sama sekali tidak terkait dengan persoalan politik.

Bagi Gerakan Pemuda Ansor, sebagaimana sikap Nahdlatul Ulama yang menempatkan wajah kosmopolitanisme Islam sebagai payung bagi kepentingan semua manusia, yakni Islam yang benar-benar berfungsi sebagai rahmatan lil alamin (pelindung, penyeru, dan pemberi kedamaian). Sebagimana pendapat Gus Dur yang mengatakan bahwa gerakan Islam hendaknya mampu mengakomodasi kelompok manapun, menerima pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Dari sinilah kemudian nilai-nilai Islam harus melekat dan menjadi ruh dalam proses pengelolaan kebijakan negara. Dan kebijakan negara yang bersumber dari watak dan nilai-nilai religiusisitas diyakini akan memberikan rasa adil, aman dan nyaman bagi semua komunitas bangsa.

Dengan pemikiran tersebut diatas, maka pilihan gerakan Islam di Indonesia hendaknya diarahkan kepada gerakan kultural dan bukan gerakan politik. Gerakan kultural menghindari dari penggunaan politik dan struktur kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan simbol-simbal Islam dalam kehidupan bernegara. Energi politik umat Islam harus lebih diarahkan pada kegiatan-kegiatan non-politik,sekaligus untuk menghindari perseteruan politik dengan golongan lain dan sesama rekan sendiri, dalam rangka menumbuhkan kesadaran keagamaan dan sosial para pengikutnya. Inilah kira-kira pilihan gerakan politik umat Islam versi keluarga besar NU.

Penutup

Dari paparan diatas, maka jelas bahwa pilihan Gerakan Politik GP. Ansor akan identik dengan pilihan gerakan politik NU dimana memandang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks ke Indonesia-an, sebagai dua hal yang berbeda, akan tetapi saling berhubungan secara simbiotik NU menghindari pandangan penyatuan Islam dan negara, akan tetapi memisahkan sama-sekali antara keduanya, dalam pandangan NU, tidak beralasan. Sebab keberadaan Islam sebagai agama mempunyai sudut pandang pemikiran sendiri terhadap bagaimana sebuah negara dapat berjalan pada garis norma dan etika Islam, dan agar negara dapat melindungi praktek dan pelaksanaan agama oleh para pemeluknya. Dengan demikian agama mempunyai kekuatan legitimasi untuk menentukan bagaimana seharusnya negara dikelola. Dan NU tidak menolak atau menentang negara yang tidak berasas Islam, akan tetapi NU akan menolak bentuk atau ideologi negara yang bertentangan dengan Islam.

Tuesday, April 24, 2007

Kampus dan Kekuasaan.

Oleh : Abdullah Naim*

Universitas yang selama ini dianggap sebagai tempat membicarakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan dalam memandang dunia, nampaknya harus digugat ulang. Apakah ilmu pengetahuan bebas nilai?. Apakah ruang-ruang universitas berikut arsitektural baik interior maupun eksteriornya sepenuhnya tidak memiliki kemampuan dalam merecoki tubuh dan jiwa para mahasiswanya untuk selanjutnya menguasainya?. Bagaimana ideologi beroperasi dalam berbagai ruang di dalam kelas-kelas universitas, baik dari sudut bahan ajarnya maupun kondisi ruangannya?.

Beragam pertanyaan itu penting diajukan dalam melihat bagaimana kekusaan menghabituskan dirinya dalam berbagai ruang. Termasuk salah satu aparatus kekuasaan seperti universitas. Louis Althusser melihat lebih jauh, justru universitas mengoperasikan cara berkuasa melalui struktur fisiknya seperti susunan batu bata dan bangku dalam ruangan (setting ruangan semisal bangku mahasiswa berhadapan dengan dosen yang lebih besar seperti mimbar).

Dari situ yang dihantam adalah ruang batin mahsiswanya bahwa ia memang kecil, belum tahu apa-apa. Bahkan juga arsitektur gedung antar fakultas selalu membangun dan menjaga bahwa otoritas dosen seolah-olah alamiah. Selain itu, operasi kekuasaan kampus juga didapati dalam bentuk regulasi seperti statuta universitas. Dalam kondisi seperti itu hubungan dosen dan mahasiswa dibangun diatas imaji suboridasi. Dosen memiliki otoritas yang tinggi. Ia seolah-olah lebih mengerti dan tahu segalanya dibanding dengan mahasiswa. Artinya otoritas yang ada sepenuhnya konstruksi kekuasaan melaui tangan-tangan dosen dan professor. Ini cara Louis Althusser untuk eksistensi mematrealisai ideologi lewat aparatus.

Meminjam cara Roland Barthes dalam membongkar model bahasa penguasa yang terdistorsi dari realitasnya. Bahasa digunakan bukan untuk menunjuk lagi realitasnya karena otoritas mengenai realitas sudah dalam genggaman kaum borjuis. Barthes mengingatkan soal watak dasar kebudayaan yang memiliki hubungan arbiter (sewenang-wenang). Dengan begitu tidak satupun gejala budaya yang alamiah. Makanya makna-makna yang selama ini tersembunyi dapat dibongkar untuk diketahuti. Ritual sehari-hari sebagai bentuk konvensi sosial adalah sarana untuk bisa diputarbalikkan menjadi seolah-olah alamiah. Inilah yang dalam istilah Barthes sebagai mitos. Cara Barthes ini bisa dipakai melihat bagaimana cara kerja universitas saat ini yang jauh dari ralitas sosialnya. Di banyak tempat masyarakat merasa terasing dengan universitas yang ada dalam lingkungannya. Bahkan disebagian tempat komunitas lokal merasa terancam kehadiran universitas.

Mungkin anda pernah berpengalaman bagaimana sang dosen mengusir mahasiswanya dari perkuliahan karena dianggap tidak sopan hanya karena tidak memakai sepatu dan baju lengang panjang. Tata kesopanan semacam itu jelas tidak berakar dari konvensi sosialnya. Kejadian seperti itu cukup menjadi contoh bagaimana Universitas dan perguruan tinggi terdistorsi dari ralitasnya. Padahal bukankah ide awalnya universitsas dan kehadirannya adalah untuk melihat realitas secara bijaksana?.

Hebdige adalah orang yang memadukan konsep ideologinya Barthes dan Althusser. Hebdige memperlihatkan bahwa analisis tekstual mitos Barthes dan ditempatkan pada konteks hipotesis misrekognisi (salah kenal) berbarengan dengan interplasi Althusser memungkinkan menganalsis ideologis yang bertalian dengan sosial politik. Dari situ Hebdige kemudian menggunakan model Althusser dan Barthes untuk mengkaji ideologi- ideologi dalam kelompok masyarakat. Dan memungkinkan mengajukan pertanyaan bagaimana kekuasaan disalurkan dalam masyarakat?. Kelompok soisal mana yang mampu mendevenisikan dan membuat tatanan serta mengklasifikasikan dunia?.

Salah satunya akan muncul terang bederang bahwa ada kelompok sosial tertentu yang dapat yang memiliki daya lebih kuat untuk membuat aturan dan mengorganisasikan makna lalu mendesakkan devenisinya mengenai pandangannya terhadap dunia. Kelompok yang lain malah sebaliknya tidak punya kekuatan dalam mendesakkan imaji-imajinya. Hanya mampu menerima dengan terpaksa dan tak memiliki ruang dalam menyampaikan ide dan gagasannya. Jika dalam struktur univeritas maka kelompok kedua (marjinal) adalah mahasiswa. Ia menjadi obyek segala macam kebijakan kampus.

Jika dilacak lebih menukik ke dalam ruang universitas, kelihatan pengetahuan tidak mencerminkan realitas. Kesadaran yang teralenasi dari praksis yang kemudian dinamai ideologi. Dengan begitu ideologi sebagai representasi yang keliru tentang manusia dan dunia karena menganggap sesuatu yang ada sebagai alamiah dan ahistoris. Dari sinilah ideologi bergerak dalam melayani kekuatan substruktur ekonomi sekaligus menjadi senjata ampuh bagi kelas berkuasa.

Dalam ruang-ruang kampus sang dosen membangun kebenaran-kebenaran, lalu diproduksi dan dibangun secara massal dan terus menerus. Kebenaran dan kekuasaan menjadi satu paket dan tidak dapat dipisahkan. Dimana ada kebenaran disitu ada kekuasaan. Kebenaran tidak diluar kekuasaan (Foucault 2000). Dengan demikian setiap ilmu pengetahuan memiliki subjek yang lazim disebut universitas yang dipraktikkan oleh sang dosen dalam mengoperasikan rezim kebenarannya. Dan setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri. Proses semacam itu posisi kebenaran seolah-olah alamiah. Padahal bukankah kebenaran sepenuhnya adalah proses konstruksi. Bagimana dengan universitas (kampus) anda?. Apakah sudah berpihak kepada kaum mustad’afin?. Atau ia sedang menjalankan proyek kekuasaan untuk kepentingan kaum tuan, wah..

Abdullah Naim adalah pegiat muda NU

naemdoel@yahoo.com

Monday, April 23, 2007

Kebudayaan: Arena Pertarungan Kelas

Oleh: Merah Johansyah Ismail *

Di Sore hari yang teduh, Setelah sholat ashar dan ketika matahari telah condong ke barat. Mak Kumala seorang wanita setengah baya beserta suaminya, Pak Masdar nampak sibuk menganyam sebuah keranjang kecil yang terbuat dari bambu tipis. mereka biasa menyebutnya kelengkang. sebuah keranjang tempat beras empat warna, sebutir telur ayam kampung ditambah sebilah dupa Cina. Semua perkakas tersebut merupakan perlengkapan ritual “melepas ayam”, sebuah ritual yang dipercayai oleh masyarakat kampung nyerakat untuk “bernegosiasi” dengan makhluk gaib berupa jin dan makhluk halus penunggu kampung mereka. Nyerakat adalah nama kampung halaman mak kumala dan pak masdar. Sebuah kampung yang terletak di Bontang Selatan yang daerahnya mulai dihuni tahun 1942-an. dahulu menurut tradisi lisan yang berkembang, daerah ini disebut “sekambing”. Namun kini diganti oleh walikota dengan sebutan yang menurut pemerintah lebih “sopan” dan lebih enak didengar di telinga yaitu “bontang Lestari”. Menurut pemerintah sebutan itu lebih pas ketimbang “sekambing” yang ketinggalan zaman.

Mak kumala bercerita bahwa tadi siang, sebelum dzuhur ada seorang kontraktor penambangan dan pengangkut pasir yang punya proyek pembangunan jalan raya di santan datang. Mereka meminta bantuan mak kumala untuk memberikan sesajen atau ritual adat yang dipercaya warga sekitar dapat mencegah hal-hal yang nantinya dapat mengganggu aktivitas proyek yang selama ini ‘kesohor’ terjadi, berupa gangguan makhluk halus, jin, penunggu hutan dllnya. Kampung nyerakat memang terkenal angker bagi aktivitas pembangunan dan proyek baik pemerintah dan perusahaan yang lalu lalang tanpa permisi dengan sang penunggu kampung yakni makhluk halus dan jin, yang menurut mereka “kehadirannya” sudah terlebih dahulu ada bahkan sebelum manusia hadir. Mulai dari truk yang terbalik hingga kendaraan berat proyek yang mogok tanpa sebab seringkali menjadi tumbalnya.

Mitos dan Subkultur

Dunia metafisik semacam itu hanya bisa lahir dari kehidupan yang mengenal ‘misteri’ dan ‘pesona’, dari masyarakat yang masih hidup dalam kosmos yang “mysterium, tremendum, fascinans” [“yang misterius, agung, mempesona” -- sebutan ini berasal dari Rudolf Otto, teolog Protestan asal Jerman abad 20]. titik menarik dari fenomena nyerakat adalah pada proses persentuhan antara ritual dengan modernisasi tersebut. Mak kumala dan komunitas kampung nyerakat justru menggunakan “kosmologi dan mitos dunia mereka” untuk melakukan perlawanan tertutup atas modernitas. Perlawanan ini dalam kajian Cultural Studies, dapat berupa siasat atau negoisasi, antara komunitas nyerakat sebagai subkultur terhadap negara dan perusahaan sebagai kultur dominan!

“kehadiran” mak kumala ketika melakukan ritual tersebut di lokasi penambangan pasir sore itu bak pahlawan yang ditunggu-tunggu. dengan segala “kesaktian”nya, Posisi mak kumala dan komunitas nyerakat sebagai subkultur tiba-tiba setara bahkan dominan ketika mereka dapat menciptakan mitos tandingan tersebut [Hebdige; From Culture to Hegemony, 2004 ] mitos tandingan ini yang memaksa kultur dominan untuk ikut melibatkan dan berkompromi dengan komunitas lokal atau subkultur, sesuatu apa yang disebut Hebdige sebagai de-mistifikasi. begitulah siasat atau negosiasi komunitas lokal atau subkultur bertahan dari serangan modernitas dan segala turunannya.

Pergunjingan genit tentang pertarungan kelas [class war] memang lebih banyak macet di perdebatan tentang basis dan superstruktur versi marxisme klasik yaitu determinasi ekonomi yang materialistik dan positivistik. Kebudayaan sebagai basis dan superstruktur yang lebih luas dan penting seolah-olah tergeser. Jauh-jauh gramsci seorang marxis kritis dari italia sudah memperingatkan ini lewat konsep hegemoni. Gramsci mengkritik dogma sejarah kaum marxis klasik tentang akan tibanya masa krisis kapitalisme yang digantikan secara alamiah oleh masa komunisme [revolusi pasif], bagi gramsci hegemoni adalah determinan non ekonomi dari sejarah. Determinan kebudayaan inilah yang menentukan, melembagakan dan melanggengkan kepemimpinan dengan cara melemahkan potensi lawan lewat kepatuhan aktif.

Hebdige mengacu dan meramu pengertian “mitos”nya dari barthes, “ideologi”nya althusser dan “hegemoni”nya gramsci untuk membangun teori subkultur. Dalam batas-batas tertentu teorinya tentang subkultur memacu dan membuka kran diskusi tentang gejala kepatuhan sehari-hari dan perlawanan dalam hidup sehari-hari.

Modernitas dan segala turunannya memang terlalu kuat, bagaikan gurita dengan karunia lengan yang lebih banyak, modernitas menjulurkan lengannya yang lain lewat subsistem kebudayaan lain yang sangat ampuh dan mujarab yaitu Agama. Agama yang didomplengi modernitas ini, menyerang dan menuding subkultur seperti praktik tradisi ritual dan “agama” rakyatnya mak kumala sebagai praktik dengan label “Musyrik” dan “Syirik” dan melawan ajaran agama.

Budaya Perlawanan

Dalam sejarah bangsa ini singkretisme sebagai subkultur dan budaya perlawanan telah tercatat walaupun sering diabaikan. Diantaranya perlawanan lewat perang petani di banten 1888 yang melibatkan kaum tarekat, para haji dan petani singkretis terhadap represi imperialisme belanda. Yang menarik menurut catatan Baso dalam karyanya Islam Pasca-Kolonial, pada tahun-tahun setelah itu belanda menciptakan lembaga bernama Kantoor voor indlandsche zaken yang merupakan embrio departemen agama sebagai strategi politik pengawasan agama-agama [Baso; 2005], bahkan kala itu ada aturan dan pasal yang dikeluarkan belanda tentang larangan menggunakan jimat.

Kultur dominan seperti agama modern memang selalu ingin menyingkirkan subkultur seperti agama rakyat berupa tradisi, ritual yang tradisional, mistis dan irasional. Pertarungan kelas zaman sekarang memang seharusnya tidak melulu merujuk pada pertarungan kelas masa lampau seperti di zaman industrial eropa yang memiliki konteksnya sendiri. Saat ini “Tanda” [baca; kebudayaan] telah menjadi ruang terbuka bagi pertarungan kelas yang sesungguhnya.[]


*Penulis sedang bergiat di NALADWIPA

Institute for Social and Cultural Studies Samarinda

Email:merahjoe@yahoo.co.id

Kaum Muda dan Geliat Pembaharuan

Oleh: Syaparuddin, J. S.Sos*)

Kalau kita mau jujur, bahwa ketika negeri ini berada dibawah kendali kepemimpinan otoriter, sentralistik dan hegemonik, maka fakta menunjukkan bahwa hampir seluruh potensi bangsa berada dalam kondisi yang tak berdaya. Ketika itu semangat penyeragaman (uniformitas) alias tidak boleh berbeda pendapat merupakan watak otoriterianistik, seluruh potensi daerah, kebijakan birokrasi, dan politik selalu tercentralisasi ke pusat kekuasaan. Negara selalu tampil dengan wajah yang menakutkan, menekan, dan mendominasi wilayah-wilayah sipil sehingga rakyat selalu berada dalam tekanan-tekanan psikologis yang tak berdaya.

Tujuh tahun negeri ini sudah berganti kepemimpinan nasional, secara pelan namun pasti, berganti pula berbagai kebijakan negara, peran militer mulai dikembalikan pada khittahnya, watak kepemimpinan mulai bergeser dari otoriterian ke demokratisasi, ada disbusi kekuasaan, peran yudikatif mulai diraskan, legislatif mulai berubah tampilannya, ada otonomi daerah, ada pula pemilihan langsung Presiden-Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, intinya rakyat mulai berdaulat. Inilah tanda-tanda telah terjadinya perubahan.

Kaum muda, yang dikatakan sebagai agen pembaharuan (agen of change), hendaknya terus memposisikan dirinya sebagai pelopor pembaharuan yang berada di garda terdepan dalam mengawal dan mendorong terjadinya perubahan kearah yang lebih baik. Tanpa pengawalan yang ketat transisi ini dapat membahayakan masa depan. Artinya kaum muda hendaknya tetap kritis dalam membaca realitas, namun hendaknya tetap pula memelihara asfek obyektifitas, bersikap santun dalam mengemukakan pikiran, sikap dan tindakannya.

Sedangkan peran organisasi kepemudaan terhadap komunitasnya yang merupakan pewaris masa depan bangsa, haruslah lebih diarahkan pada upaya penyadaran (transfromasi) akan tanggung-jawabnya. Betapapun, masa depan merupakan tanggung-jawab bersama oleh seluruh potensi muda, artinya generasi muda sejak dini, harus pula sadar bahwa masa depan sangat bergantung dengan kesiapan pemudanya hari ini untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Memandang penuh dengan kecurigaan yang berlebihan terhadap generasi tua (penguasa saat ini) tentu bukanlah pula sikap yang arif dan bijaksana, sebab terlepas dari kelemahan dan carut marutnya kekuasaan oleh mereka yang telah berkuasa, tetap saja mereka telah berjasa dan memiliki andil yang tidak kecil buat negeri ini. Oleh karenanya kita tetap “belajar” dari mereka, menghormati dan menghargai apa yang telah mereka persembahkan, sikap ini merupakan cerminan dari akhlak Islam yakni hormat “tawaddu kepada para tokoh-tokoh kita saat ini. Menghargai karya para pendahulu baik sebagai modal (asset-historis) maupun sebagai pelajaran, tentulah merupakan sikap terbaik kaum muda sambil juga mencoba memeperisapkan berbagai agenda perubahan masa depan. Sikap ini seiring dengan kaidah fiqh yang terkenal di lingkungan NU yakni : Al Muha Fadzatu Ala Qodimussoleh, Wal Ahdzu Bil Jadidil Ashlah artinya “ Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang harus relevan “ dari sinilah kita berangkat bagaimana kaum muda memandang masa lalu, berinteraksi dengan realitas saat ini, dan menatap masa depan yang lebih baik.

Bahwa masa depan harus lebih baik dari masa lalu dan masa kini, tentu merupakan kehendak semua generasi, sebagai kaum muda prinsip ini hendaknya kita jadikan sebagai sumber insfirasi, motivasi, dan obsesi, yang kemudian dituangkan dan diformulasi dalam bentuk susunan-susunan program masa depan yang termanifestasikan dalam komitmen dan gerakan yang lebih terkoordinasi, implementatif, dan membumi.

Kepada kita sebagai kaum muda bahwa masa depan yang kita kehendaki antara lain ; terbangunnya suasana kehidupan yang lebih harmonis, tegaknya hukum, sejahteranya rakyat, meningkatnya kualitas SDM, sehatnya kehidupan masyarakat, dihargainya kedaulatan rakyat, ending akhirnya adalah terbangunnya sebuah kehidupan masyarakat baru yang berperadaban (Mabadi Khoiru Ummah). Untuk itulah kaum muda harus mempersiapkan diri sedini mungkin, saling berkoordinasi dan mengkonsolidasi kekuatannya, agar masa depan dapat diraih dengan pendekatan-pendakatan yang lebih santun dan beradab. Pandangan ini relevan dengan ; Innallah Hala Yughoiru Ma Biqaumin Hatta Yughoiru Ma Bi Ampusihim “ Tidak akan dirubah nasib suatu kaum kalo tidak kaum itu sendiri melakukan perubahan “. an (social of engientuk ng masa lalu dan menatapa masa kini "

(Penulis adalah Ketua PW GP Ansor Kalimantan Timur)