Oleh : Abdullah Naim*
Universitas yang selama ini dianggap sebagai tempat membicarakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan dalam memandang dunia, nampaknya harus digugat ulang. Apakah ilmu pengetahuan bebas nilai?. Apakah ruang-ruang universitas berikut arsitektural baik interior maupun eksteriornya sepenuhnya tidak memiliki kemampuan dalam merecoki tubuh dan jiwa para mahasiswanya untuk selanjutnya menguasainya?. Bagaimana ideologi beroperasi dalam berbagai ruang di dalam kelas-kelas universitas, baik dari sudut bahan ajarnya maupun kondisi ruangannya?.
Beragam pertanyaan itu penting diajukan dalam melihat bagaimana kekusaan menghabituskan dirinya dalam berbagai ruang. Termasuk salah satu aparatus kekuasaan seperti universitas. Louis Althusser melihat lebih jauh, justru universitas mengoperasikan cara berkuasa melalui struktur fisiknya seperti susunan batu bata dan bangku dalam ruangan (setting ruangan semisal bangku mahasiswa berhadapan dengan dosen yang lebih besar seperti mimbar).
Dari situ yang dihantam adalah ruang batin mahsiswanya bahwa ia memang kecil, belum tahu apa-apa. Bahkan juga arsitektur gedung antar fakultas selalu membangun dan menjaga bahwa otoritas dosen seolah-olah alamiah. Selain itu, operasi kekuasaan kampus juga didapati dalam bentuk regulasi seperti statuta universitas. Dalam kondisi seperti itu hubungan dosen dan mahasiswa dibangun diatas imaji suboridasi. Dosen memiliki otoritas yang tinggi. Ia seolah-olah lebih mengerti dan tahu segalanya dibanding dengan mahasiswa. Artinya otoritas yang ada sepenuhnya konstruksi kekuasaan melaui tangan-tangan dosen dan professor. Ini cara Louis Althusser untuk eksistensi mematrealisai ideologi lewat aparatus.
Meminjam cara Roland Barthes dalam membongkar model bahasa penguasa yang terdistorsi dari realitasnya. Bahasa digunakan bukan untuk menunjuk lagi realitasnya karena otoritas mengenai realitas sudah dalam genggaman kaum borjuis. Barthes mengingatkan soal watak dasar kebudayaan yang memiliki hubungan arbiter (sewenang-wenang). Dengan begitu tidak satupun gejala budaya yang alamiah. Makanya makna-makna yang selama ini tersembunyi dapat dibongkar untuk diketahuti. Ritual sehari-hari sebagai bentuk konvensi sosial adalah sarana untuk bisa diputarbalikkan menjadi seolah-olah alamiah. Inilah yang dalam istilah Barthes sebagai mitos. Cara Barthes ini bisa dipakai melihat bagaimana cara kerja universitas saat ini yang jauh dari ralitas sosialnya. Di banyak tempat masyarakat merasa terasing dengan universitas yang ada dalam lingkungannya. Bahkan disebagian tempat komunitas lokal merasa terancam kehadiran universitas.
Mungkin anda pernah berpengalaman bagaimana sang dosen mengusir mahasiswanya dari perkuliahan karena dianggap tidak sopan hanya karena tidak memakai sepatu dan baju lengang panjang. Tata kesopanan semacam itu jelas tidak berakar dari konvensi sosialnya. Kejadian seperti itu cukup menjadi contoh bagaimana Universitas dan perguruan tinggi terdistorsi dari ralitasnya. Padahal bukankah ide awalnya universitsas dan kehadirannya adalah untuk melihat realitas secara bijaksana?.
Hebdige adalah orang yang memadukan konsep ideologinya Barthes dan Althusser. Hebdige memperlihatkan bahwa analisis tekstual mitos Barthes dan ditempatkan pada konteks hipotesis misrekognisi (salah kenal) berbarengan dengan interplasi Althusser memungkinkan menganalsis ideologis yang bertalian dengan sosial politik. Dari situ Hebdige kemudian menggunakan model Althusser dan Barthes untuk mengkaji ideologi- ideologi dalam kelompok masyarakat. Dan memungkinkan mengajukan pertanyaan bagaimana kekuasaan disalurkan dalam masyarakat?. Kelompok soisal mana yang mampu mendevenisikan dan membuat tatanan serta mengklasifikasikan dunia?.
Salah satunya akan muncul terang bederang bahwa ada kelompok sosial tertentu yang dapat yang memiliki daya lebih kuat untuk membuat aturan dan mengorganisasikan makna lalu mendesakkan devenisinya mengenai pandangannya terhadap dunia. Kelompok yang lain malah sebaliknya tidak punya kekuatan dalam mendesakkan imaji-imajinya. Hanya mampu menerima dengan terpaksa dan tak memiliki ruang dalam menyampaikan ide dan gagasannya. Jika dalam struktur univeritas maka kelompok kedua (marjinal) adalah mahasiswa. Ia menjadi obyek segala macam kebijakan kampus.
Jika dilacak lebih menukik ke dalam ruang universitas, kelihatan pengetahuan tidak mencerminkan realitas. Kesadaran yang teralenasi dari praksis yang kemudian dinamai ideologi. Dengan begitu ideologi sebagai representasi yang keliru tentang manusia dan dunia karena menganggap sesuatu yang ada sebagai alamiah dan ahistoris. Dari sinilah ideologi bergerak dalam melayani kekuatan substruktur ekonomi sekaligus menjadi senjata ampuh bagi kelas berkuasa.
Dalam ruang-ruang kampus sang dosen membangun kebenaran-kebenaran, lalu diproduksi dan dibangun secara massal dan terus menerus. Kebenaran dan kekuasaan menjadi satu paket dan tidak dapat dipisahkan. Dimana ada kebenaran disitu ada kekuasaan. Kebenaran tidak diluar kekuasaan (Foucault 2000). Dengan demikian setiap ilmu pengetahuan memiliki subjek yang lazim disebut universitas yang dipraktikkan oleh sang dosen dalam mengoperasikan rezim kebenarannya. Dan setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri. Proses semacam itu posisi kebenaran seolah-olah alamiah. Padahal bukankah kebenaran sepenuhnya adalah proses konstruksi. Bagimana dengan universitas (kampus) anda?. Apakah sudah berpihak kepada kaum mustad’afin?. Atau ia sedang menjalankan proyek kekuasaan untuk kepentingan kaum tuan, wah..
Abdullah Naim adalah pegiat muda NU
No comments:
Post a Comment