Oleh: Merah Johansyah Ismail *
Di Sore hari yang teduh, Setelah sholat ashar dan ketika matahari telah condong ke barat. Mak Kumala seorang wanita setengah baya beserta suaminya, Pak Masdar nampak sibuk menganyam sebuah keranjang kecil yang terbuat dari bambu tipis. mereka biasa menyebutnya kelengkang. sebuah keranjang tempat beras empat warna, sebutir telur ayam kampung ditambah sebilah dupa Cina. Semua perkakas tersebut merupakan perlengkapan ritual “melepas ayam”, sebuah ritual yang dipercayai oleh masyarakat kampung nyerakat untuk “bernegosiasi” dengan makhluk gaib berupa jin dan makhluk halus penunggu kampung mereka. Nyerakat adalah nama kampung halaman mak kumala dan pak masdar. Sebuah kampung yang terletak di Bontang Selatan yang daerahnya mulai dihuni tahun 1942-an. dahulu menurut tradisi lisan yang berkembang, daerah ini disebut “sekambing”. Namun kini diganti oleh walikota dengan sebutan yang menurut pemerintah lebih “sopan” dan lebih enak didengar di telinga yaitu “bontang Lestari”. Menurut pemerintah sebutan itu lebih pas ketimbang “sekambing” yang ketinggalan zaman.
Mak kumala bercerita bahwa tadi siang, sebelum dzuhur ada seorang kontraktor penambangan dan pengangkut pasir yang punya proyek pembangunan jalan raya di santan datang. Mereka meminta bantuan mak kumala untuk memberikan sesajen atau ritual adat yang dipercaya warga sekitar dapat mencegah hal-hal yang nantinya dapat mengganggu aktivitas proyek yang selama ini ‘kesohor’ terjadi, berupa gangguan makhluk halus, jin, penunggu hutan dllnya. Kampung nyerakat memang terkenal angker bagi aktivitas pembangunan dan proyek baik pemerintah dan perusahaan yang lalu lalang tanpa permisi dengan sang penunggu kampung yakni makhluk halus dan jin, yang menurut mereka “kehadirannya” sudah terlebih dahulu ada bahkan sebelum manusia hadir. Mulai dari truk yang terbalik hingga kendaraan berat proyek yang mogok tanpa sebab seringkali menjadi tumbalnya.
Mitos dan Subkultur
Dunia metafisik semacam itu hanya bisa lahir dari kehidupan yang mengenal ‘misteri’ dan ‘pesona’, dari masyarakat yang masih hidup dalam kosmos yang “mysterium, tremendum, fascinans” [“yang misterius, agung, mempesona” -- sebutan ini berasal dari Rudolf Otto, teolog Protestan asal Jerman abad 20]. titik menarik dari fenomena nyerakat adalah pada proses persentuhan antara ritual dengan modernisasi tersebut. Mak kumala dan komunitas kampung nyerakat justru menggunakan “kosmologi dan mitos dunia mereka” untuk melakukan perlawanan tertutup atas modernitas. Perlawanan ini dalam kajian Cultural Studies, dapat berupa siasat atau negoisasi, antara komunitas nyerakat sebagai subkultur terhadap negara dan perusahaan sebagai kultur dominan!
“kehadiran” mak kumala ketika melakukan ritual tersebut di lokasi penambangan pasir sore itu bak pahlawan yang ditunggu-tunggu. dengan segala “kesaktian”nya, Posisi mak kumala dan komunitas nyerakat sebagai subkultur tiba-tiba setara bahkan dominan ketika mereka dapat menciptakan mitos tandingan tersebut [Hebdige; From Culture to Hegemony, 2004 ] mitos tandingan ini yang memaksa kultur dominan untuk ikut melibatkan dan berkompromi dengan komunitas lokal atau subkultur, sesuatu apa yang disebut Hebdige sebagai de-mistifikasi. begitulah siasat atau negosiasi komunitas lokal atau subkultur bertahan dari serangan modernitas dan segala turunannya.
Pergunjingan genit tentang pertarungan kelas [class war] memang lebih banyak macet di perdebatan tentang basis dan superstruktur versi marxisme klasik yaitu determinasi ekonomi yang materialistik dan positivistik. Kebudayaan sebagai basis dan superstruktur yang lebih luas dan penting seolah-olah tergeser. Jauh-jauh gramsci seorang marxis kritis dari italia sudah memperingatkan ini lewat konsep hegemoni. Gramsci mengkritik dogma sejarah kaum marxis klasik tentang akan tibanya masa krisis kapitalisme yang digantikan secara alamiah oleh masa komunisme [revolusi pasif], bagi gramsci hegemoni adalah determinan non ekonomi dari sejarah. Determinan kebudayaan inilah yang menentukan, melembagakan dan melanggengkan kepemimpinan dengan cara melemahkan potensi lawan lewat kepatuhan aktif.
Hebdige mengacu dan meramu pengertian “mitos”nya dari barthes, “ideologi”nya althusser dan “hegemoni”nya gramsci untuk membangun teori subkultur. Dalam batas-batas tertentu teorinya tentang subkultur memacu dan membuka kran diskusi tentang gejala kepatuhan sehari-hari dan perlawanan dalam hidup sehari-hari.
Modernitas dan segala turunannya memang terlalu kuat, bagaikan gurita dengan karunia lengan yang lebih banyak, modernitas menjulurkan lengannya yang lain lewat subsistem kebudayaan lain yang sangat ampuh dan mujarab yaitu Agama. Agama yang didomplengi modernitas ini, menyerang dan menuding subkultur seperti praktik tradisi ritual dan “agama” rakyatnya mak kumala sebagai praktik dengan label “Musyrik” dan “Syirik” dan melawan ajaran agama.
Budaya Perlawanan
Dalam sejarah bangsa ini singkretisme sebagai subkultur dan budaya perlawanan telah tercatat walaupun sering diabaikan. Diantaranya perlawanan lewat perang petani di banten 1888 yang melibatkan kaum tarekat, para haji dan petani singkretis terhadap represi imperialisme belanda. Yang menarik menurut catatan Baso dalam karyanya Islam Pasca-Kolonial, pada tahun-tahun setelah itu belanda menciptakan lembaga bernama Kantoor voor indlandsche zaken yang merupakan embrio departemen agama sebagai strategi politik pengawasan agama-agama [Baso; 2005], bahkan kala itu ada aturan dan pasal yang dikeluarkan belanda tentang larangan menggunakan jimat.
Kultur dominan seperti agama modern memang selalu ingin menyingkirkan subkultur seperti agama rakyat berupa tradisi, ritual yang tradisional, mistis dan irasional. Pertarungan kelas zaman sekarang memang seharusnya tidak melulu merujuk pada pertarungan kelas masa lampau seperti di zaman industrial eropa yang memiliki konteksnya sendiri. Saat ini “Tanda” [baca; kebudayaan] telah menjadi ruang terbuka bagi pertarungan kelas yang sesungguhnya.[]
*Penulis sedang bergiat di NALADWIPA
Institute for Social and Cultural Studies Samarinda
No comments:
Post a Comment