Oleh Syaparudin.J, S.Sos
Ketua PW. GP. Ansor Kaltim
Disampaikan pada acara Diskusi Panel KAMMI Kaltim
Menurut saya diskusi ini menarik bagi mereka yang tengah dan terus mempersoalkan negara dan kekuasaan dari persfektif sekuler dan agama. Namun adapula yang berpendapat bahwa perbincangan atau perdebatan tentang negara (harus menggunakan lebel islam) merupakan pemikiran yang mundur. Tarik menarik terhadap sistem termasuk bentuk negara antara mereka yang berpikiran formalisasi islam dengan pihak yang lebih moderat (tidak perlu berlebel islam, tapi pengelolaan negara harus didasarakan atas nilai-nilai islam) saat ini terus berkembang dalam wacana politik umat Islam negeri ini.
Pertanyaan penting dalam diskusi ini adalah, apakah kita semua sebagai sebuah bangsa sungguh-sungguh menghendaki negara ini bernama sebagai negara Islam yang tentu berkonsekwensi dengan peraturan dan pe-UU-an harus mencerminkan ekslusivitas dokrin-doktrin Islam ? ataukah kita tetap bersepakat bahwa Negara ini tetap bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi prinsip-prinsip luhur ajaran Islam terus kita kembangkan sebagai ruh (spirit / jiwa) yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik negeri ini. Menurut saya diskusi dengan memperdebatkan persoalan sistem dan bentuk negara dalam polaritas antara formalisasi Islam / Negara Islam dengan NKRI berkarakter Islam hendaknya tidak membuat kita larut dalam arus diskusi saja, karena bisa saja diskusi itu semakin membuat ummat Islam tidak produktif karena kita terjebak pada wilayah nama /institusi dan bukan substansi / isi.
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sangat plural (beragam cultur, suku, agama, dan ideolgi) tentu harus pula menjadi bahan pertimbangan bagi ummat Islam, apakah relevan mendesakkan formalisasi Islam dalam konteks ke-Indonesia-an, apakah pemaksaan terhadap formalisasi Islam tidak memberikan pengaruh buruk (mudarat) terhadap solidaritas ummat Islam (ukhuwwah Islamiah), solidaritas kebangsaan (ukhuwwah wathoniah), dan solidaritas kemanusiaan (ukhuwwah Insaniah). Pemaksaan kehendak yang tidak berbasis dengan realitas ke-Indonesia-an tentu merupakan tindakan yang kurang arif dan tidak cerdas dalam proses interaksi sosial dan mencari formulasi terhadap bangunan kenegaraan kita. Allah SWT sendiri memperingatkan kepada hambanya dalam proses kehidupan sebagaimana firmanNya La Ikra Ha Fiddin “ Tidak ada paksaan dalam Agama “ .
Belajar dari sejarah, bahwa politik ummat Islam pasca Nabi Muhammad SAW, telah terjadi konflik yang berkepanjangan, sebab ternyata politik selalu terkait dengan persoalan kekuasaan, sumber-sumber ekonomi, dan legitimasi (pengakuan), oleh karenanya ketika bicara kekuasaan, ekonomi, dan legitimasi selalu berbanding lurus dengan persoalan puas dan tidak puas, siapa mendapatkan apa, dan bagaimana proses distribusi politik dan ekonomi di berikan secara adil pada semua pihak yang ada dan hidup dalam semua komunitas negara. Artinya kalau pada zaman para sahabat saja terjadi pertumpahan darah dalam proses transisi ke khalifahan, ada monopoli-oligopoli atas kebijakan ekonomi (lihat zaman khalifah Ustman Bin Affan) lalu kemudian Usman di bunuh oleh kelompok Syaidina Ali, lalu kemudian sahabat Syaidina Ali pun dibunuh karena faktor peng-sitimewaan terhadap kelompok Syiah, tentu hal tersebut sangat mungkin terjadi dalam komunitas Indonesia yang sangat plural ini.
Pancasila sebagai ideologi dan Islam merupakan agama wahyu
Argumentasi bahwa dasar negara Pancasila dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan bahkan tidak terlalu penting dipertentangkan bahkan tidak harus dipilih salah satunya dengan cara membuang yang lainnya. Sebab Islam tidak bisa disamakan dengan ideologi politik, sebab Islam adalah agama yang diwahyukan, sedangkan ideologi merupakan hasil pemikiran manusia. Sebab bagi pemerintah bahwa keberadaan Pancasila memang bukanlah bukanlah dimaksudkan sebagai agama agama baru bagi
Penerimaan pancasila sebagai azas tunggal negara disebabkan oleh dua argumentasi penting : Pertama’ karena nilai-nilai Pancasila sendiri dianggap baik (maslahah). Islam memberi motivasi kepada umatnya untuk menerima, bukan hanya Pancasila, tetapi juga apa-apa saja yang memiliki nilai-nilai baik yang mampu memberikan konstribusi bagi ikhtiar untuk mewujudkan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Pancasila diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadah dan mitsaq, kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan negara. Berangkat dari sanalah maka negara RI dianggap sebagai upaya final yang dapat dicapai dalam kesepakatan seluruh warga bangsa, termasuk kaum muslimin, untuk mendirikan negara dalam wilayah Nusantara. Dalam pandangan ini, bahwa adanya pengakuan negara didirikan dengan kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain. Sebagai mitsak, sejauh hal itu bisa dicapai, umat Islam harus bertanggung-jawab untuk memegang teguh kesepakatan itu. Dalam hal ini yang dijadikan referansi oleh sejarah ketika nabi Muhammad SAW mendeklarasikan Piagam Madinah sebagai hasil kesepakatan antara umat islam dengan golongan lain untuk menjaga kesatuan dan keutuhan negara Madinah ketika itu, terutama untuk menghadapi musuh dari luar.
Lebih dari itu, dalam konteks keharusan tegaknya negara dengan seperangkat instrumen dan undang-undangnya dalam rangka tujuan yang jauh lebih besar, yakni untuk melindungi penegakkan ajaran Islam, maka penerimaan Pancasila adalah wajib. Sekalipun perangkat-perangkat kenegaraan itu belum sepenuhnya sempurna menurut idealisme Islam, akan tetapi demi terwujudnya kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang kuat dan efektif untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara, yang berarti juga demi cita-cita Islam, maka merupakan sesuatu hal dharuri (darurat) menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan atas argumentasi ini dapat mengacu kepada sebuah qaidah fiqh yang berbunyi “ ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun “ artinya “ hal-hal yang tanpanya suatu yang wajib tidak bisa dipenuhi, maka ia juga menjadi wajib “. Maksudnya kalau mengakkan syari’at Islam itu adalah wajib, maka instrumen kenegaraan yang menjadi persyaratan untuk adalah wajib pula. Penerapan qaidah-qaidah fiqh dalam merespons berbagai persoalan kontemporer. Hal ini memungkinkan untuk menempuh penyelesaian yang didasarkan kepada pilihan resiko terkecil dan menghindari yang beresiko besar atau selalu memilih yang terbaik diantara berbagai pilihan yang ada. Apabila prinsip (qaidah) ini selalu kita jadikan rujukan dalam proses pilihan pengambilan keputusan dalam ektrimitas pikiran dan polaritas masyarakat, maka kita akan semakin matang dan tidak mudah terjebak dalam arus konflik yang berujung pangkal.
KONSEPSI TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Dalam wacana politik Islam sendiri, paling tidak, terdapat tiga paradigma tentang pola hubungan antara Islam dan negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik dan paradigma sekuleristik. Ketiga paradigma ini dapat digunakan untuk mengukur corak pemikiran tertentu tentang politik Islam.
Paradigma integralistik mengajukan konsep tentang bersatunya agama dan negara. Islam dan negara dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integreted), dimana wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut paradigma ini Islam merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Illahi, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “Tangan’ Tuhan. Dalam konteks ini, sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan sebagai penyelenggara kedaulatan Tuhan, maka negara haruslah bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung pengertian kekuasaan mutlak berada ditangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan kepada wahyu atau syari’at.
Paradigma tersebut diatas dianut oleh kelompok Syi’ah dan “fundamentalisme Islam”, walau dalam banyak hal bisa berbeda. Bagi Syi’ah, negara yang dalam istilah mereka disebut imamah, merupakan lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan pula. Berhubung legitimasi berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat Nabi Muhammad dan garis keturunannya, maka legitimasi politik pun harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan nabi yang mempunyai derajat ishmah (suci dari dosa).
Sedangan paradigma simbiotik memandang agama dan negara berhubungan secara timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara - agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiotik agama dan negara ini misalnya dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi, seorang teoritikus politik terkemuka pada masa klasik. Dalam hal al-Mawardi mengaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hal ini memelihara agama dan mengatur dunia merupakan dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Sementara itu al-Ghazali juga mengisyaratkan tentang hubungan yang paralel antara agama dan negara. Menurut al-Ghazali, jika Tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka “kekuatan Illahi” (Far’i Izadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni kemaslahatan kehidupan manusia. Paralelisme hubungan antara agama dan negara ini menunjukkan bahwa al-Ghazali tidakmenganut pandangan bahwa Islam harus menyatu secara kelembagaan dengan negara, melainkan agama dan negara merupkan saudara kembar yang lahir dari satu ibu.
Paradigma ketiga adalah Paradigma sekuleristik, adalah sebuah paradigma yang menolak konsep baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Paradigma sekuleristik ini mengajukan konsep pemisahan secara diametral antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, atau paling tidak,menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Dalam hal ini, islam merupakan sistem keyakinan yang berasal dari wahyu dan tidak ada kaiannya sama sekali dengan negara, sedangkan negara merupakan hal profan yang adanya merupakan keharusan sosiologis dan rasional dan tidak membutuhkan agama.
Diantara para pemikkir politik Islam, Ali Abd. Raziq dinilai menganut paradigma sekuleristik ini. Dalam karyanya “al Islam wa Ushul al Hukmi” Razik mengatakan bahwa Islam tidak meberi petunjuk apapun tentang bentuk negara, bahkan menurut Razik ke khalifahan tidak mempunyai dasar, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejarah Islam harus ditafsiri sebagai fenomena sosio-historis biasa seperti juga terjadi pada sejarah umat lainnya. Dengan demikian Islam sama sekali tidak terkait dengan persoalan politik.
Bagi Gerakan Pemuda Ansor, sebagaimana sikap Nahdlatul Ulama yang menempatkan wajah kosmopolitanisme Islam sebagai payung bagi kepentingan semua manusia, yakni Islam yang benar-benar berfungsi sebagai rahmatan lil alamin (pelindung, penyeru, dan pemberi kedamaian). Sebagimana pendapat Gus Dur yang mengatakan bahwa gerakan Islam hendaknya mampu mengakomodasi kelompok manapun, menerima pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Dari sinilah kemudian nilai-nilai Islam harus melekat dan menjadi ruh dalam proses pengelolaan kebijakan negara. Dan kebijakan negara yang bersumber dari watak dan nilai-nilai religiusisitas diyakini akan memberikan rasa adil, aman dan nyaman bagi semua komunitas bangsa.
Dengan pemikiran tersebut diatas, maka pilihan gerakan Islam di Indonesia hendaknya diarahkan kepada gerakan kultural dan bukan gerakan politik. Gerakan kultural menghindari dari penggunaan politik dan struktur kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan simbol-simbal Islam dalam kehidupan bernegara. Energi politik umat Islam harus lebih diarahkan pada kegiatan-kegiatan non-politik,sekaligus untuk menghindari perseteruan politik dengan golongan lain dan sesama rekan sendiri, dalam rangka menumbuhkan kesadaran keagamaan dan sosial para pengikutnya. Inilah kira-kira pilihan gerakan politik umat Islam versi keluarga besar NU.
Penutup
Dari paparan diatas, maka jelas bahwa pilihan Gerakan Politik GP. Ansor akan identik dengan pilihan gerakan politik NU dimana memandang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks ke Indonesia-an, sebagai dua hal yang berbeda, akan tetapi saling berhubungan secara simbiotik NU menghindari pandangan penyatuan Islam dan negara, akan tetapi memisahkan sama-sekali antara keduanya, dalam pandangan NU, tidak beralasan. Sebab keberadaan Islam sebagai agama mempunyai sudut pandang pemikiran sendiri terhadap bagaimana sebuah negara dapat berjalan pada garis norma dan etika Islam, dan agar negara dapat melindungi praktek dan pelaksanaan agama oleh para pemeluknya. Dengan demikian agama mempunyai kekuatan legitimasi untuk menentukan bagaimana seharusnya negara dikelola. Dan NU tidak menolak atau menentang negara yang tidak berasas Islam, akan tetapi NU akan menolak bentuk atau ideologi negara yang bertentangan dengan Islam.